7 Christmas Songs That Have Absolutely Nothing to do With Christmas


A radio station near me started playing ONLY Christmas music recently. It must bring ratings because I feel like it gets earlier every year. But I think this kind of extended Christmas season has had a downside. The classification of "Christmas music" has been a bit liberally assigned.

So CMR has hired fourteen high school dropouts, three winos, and two former game show hosts to listen to Christmas music all day and classify those songs which actually have nothing at all to do with Christmas. And I don't mean having nothing to do with the birth of Christ because we're all used to Christmas songs having nothing to do with Jesus' birthday. I mean these songs have absolutely nothing to do with anything even close to Christmas. I mean, no mention of Santa, Christmas trees, gift giving, nothing.

Here's what they came up with:

1) Same Old Lang Syne by Dan Fogelberg - OK. Here we have a song about a rock star who's out roaming around a grocery store at some odd hour (probably looking for booze) and he happens upon an old girlfriend. She doesn't recognize him at first glance which probably ticks him off because he's a big time famous rock star and she's the high school girl he dumped. When she recognizes him, she drops her purse causing them to laugh until they cried which probably means they're both drunk as heck already. So what do they decide to do? They hop in their cars, drive around and can't find an open bar and decide just to sit in the car and drink themselves happy and maybe forget how miserable they both are.

They toast to their innocence which is kind of ironic as they're sitting in a car drinking and likely contemplating adultery and they soon realize that they're so drunk they can't figure out what to say to each other so she starts kvetching about her marriage and he says how much he hates touring because you know the life of a rock star is just sooooooooo unbearable.

And you just know that all the great Christmas songs are really about rock stars complaining in the frozen foods aisle.

Anyway, after all the beers are gone he allows this past flame who just drank her face off and is so completely emotionally unstable that she was laughing and crying over spilling her purse to hop into her car and drive away probably to run someone over.

Now that's Christmas.



2) Jingle Bells - Jingle Bells is one of the most famous Christmas songs in the world but unfortunately it actually has nothing to do with Christmas. It was written by James Lord Pierpont and published under the title "One Horse Open Sleigh" in 1857 about Thanksgiving. Yup. Thanksgiving. But nobody wants to hear a Thanksgiving song so it's now a Christmas song.

The dude has "Lord" in his name but that's about as close as the song gets anywhere near God.

Everyone knows the first verse but not many know the second verse which seems to be about...well you be the judge what it's about.

 A day or two ago
I thought I'd take a ride
And soon, Miss Fanny Bright
Was seated by my side,
The horse was lean and lank
Misfortune seemed his lot
He got into a drifted bank
And then we got upset.

So he got Miss Fanny Bright to get in the sleigh with him, he went a little fast (if you know what I mean) and crashed into a ditch. That's the 1850's version of "I ran out of gas" I guess.

And then the fourth verse consists of some dude sleighing by and laughing at the idiot who crashed his sleigh and then driving off. Nice.

Doesn't sound much like a Christmas song at all does it?


3)Jingle Bell Rock -Adding the word "rock" to nonsensical words doesn't really make it more Christmasy does it?


Sleigh
4) Sleigh Ride - It's lovely weather for a sleigh ride together with you. It's about eating chestnuts, eating pumpkin pie and drinking coffee and that's it. No Christmas.


5) Winter Wonderland - It's a song written by a guy with tuberculosis sitting in a sanitarium writing about a snowy day. That's it. A snowy day.


6) Baby It's Cold Outside - I have zero clue how this song worked its way into Christmas airplay. Just to give you some idea, it's a duet about a girl who keeps insisting she must go home while the guy uses every excuse to keep her there saying that it's cold outside so she should really stay. The female voice in the song is called "The Mouse" and the male "The Wolf." I mean, this song is about one step short of the guy slipping something into her drink and her waking up three days later shackled up with a ball gag.


7) Let it Snow - Oh the weather outside if frightful but the fire's so delightful. Yup. Pretty much the same thing is going on here as in "Baby it's Cold Outside" but at least here it seems mutual and the police won't need to get involved. But while a lack of necessary jail time is a plus there's nothing real Christmasy going on here.

Justin Bieber: Yesus Mati Untuk Dosa Saya

Reformata.com - SAAT ini, siapa tak kenal Justin Bieber, pujaan remaja masa kini yang terkenal lewat videonya yang diupload di YouTube ini. Bahkan akun Twitter penyanyi pop yang kondang saat ini telah follow oleh lebih dari 6 juta pengikut. Namun siapa sangka sosok yang digandrungi banyak orang itu ternyata sangatlah religius.
Seusai acara launching buku tentang otobiografinya, “First Step 2 Forever: My Story.”, kepada The Associated Press (AP) Justin Bieber berbicara banyak tentang buku dan ambisi masa depannya. Saat AP menanyakan tentang bagaimana dia menyikapi dunia Hollywood yang tak jarang berbenturan dengan imannya, dengan santai Bieber menjawab bahwa Yesus yang mati di kayu salib untuk dosa-dosanya itulah yang menjadi alasan utamanya yang harus diingat agar tidak terjebak dalam dunia glamour ala Hollywood.
“Hollywood adalah … tempat menakutkan. Ada banyak hal yang terjadi, ada banyak hal-hal buruk, tapi ada juga banyak hal yang baik. Aku bisa mewujudkan impian saya, saya bisa melakukan banyak hal yang baik. ….aku seorang Kristen, saya percaya pada Tuhan, aku percaya bahwa Yesus mati di kayu salib untuk dosa-dosa saya. Saya percaya bahwa saya memiliki hubungan dan aku dapat berbicara dengan Dia, Dia adalah alasan aku di sini, jadi saya pasti harus ingat itu”. Slavi

Obama: Mengapa Saya Kristen


ALBUQUERQUE, KOMPAS.com Sebuah acara yang dirancang untuk diskusi mengenai masalah perekonomian berubah menjadi acara yang membahas masalah pribadi, Selasa (28/9/2010). Hal itu terjadi ketika seorang perempuan menanyakan kepada Presiden AS Barack Obama tentang iman Kristen dan pandangannya terhadap aborsi.

Pertanyaan itu mencuat pada sebuah pertemuan bergaya balai kota di halaman sebuah rumah di Albuquerque, AS, sebagai bagian dari pendekatan publik Obama untuk menjelaskan kebijakannya dan dalam rangka kampanye Partai Demokrat untuk pemilu kongres pada November mendatang.
Setelah sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari orang Amerika yang dengan benar mengidentifikasi Obama sebagai seorang Kristen, Presiden memberikan tanggapan pribadi, sebagai orang dewasa, dalam percakapan itu. Ia juga memaparkan tentang bagaimana tugas pelayanan publiknya menjadi bagian dari praktik imannya.

"Saya seorang Kristen karena pilihan," kata Obama memulai jawabannya, dengan tetap berdiri di bawah terik matahari, ketika ditanya mengapa ia menjadi seorang Kristen. "Saya memeluk iman Kristen belakangan, dan itu karena ajaran Yesus Kristus yang berbicara kepada saya tentang kehidupan yang ingin saya lakoni," kata Obama seperti dikutip CNN. "Menjadi pelindung bagi saudara dan saudari saya. Memperlakukan orang lain sebagaimana mereka akan memperlakukan saya. Dan saya pikir, juga memahami itu, bahwa Yesus Kristus wafat untuk dosa-dosa saya, berbicara dengan kerendahan hati bahwa kita semua harus berlaku sebagai manusia."

Ia melanjutkan, "Manusia penuh dosa dan makhluk tak sempurna yang membuat kesalahan dan memperoleh keselamatan melalui kasih karunia Allah." Ia menambahkan, "Kita juga dapat melihat Tuhan pada sosok orang lain dan melakukan hal terbaik kita untuk membantu mereka menemukan kasih karunia mereka sendiri."

"Jadi, itulah yang berusaha saya lakukan," kata Obama. "Itu yang saya panjatkan dalam doa untuk saya lakukan setiap hari. Saya pikir tugas pelayanan publik saya adalah bagian dari upaya itu, untuk mengungkapkan iman Kristen saya."

Pada saat yang sama, Obama menekankan keyakinannya bahwa kebebasan beragama adalah bagian dari kekuatan penting Amerika Serikat. "Ini merupakan sebuah negara yang masih didominasi Kristen, tapi kita punya orang-orang Yahudi, Muslim, Hindu, ateis, agnostik, Buddha dan lain-lain," katanya. Ia menambahkan, "Jalan rahmat mereka (warga non-Kristen) adalah salah satu yang kita harus hargai dan hormati sebagaimana keyakinan kita sendiri, dan itulah yang menjadikan negara ini seperti apa adanya saat ini."

Penanya yang sama juga menanyakan tentang peraturan aborsi dini dan aborsi saat usia kandungan sudah tua, yang menjadi isu politis dalam perdebatan aborsi. Obama menjawab, aborsi harus menjadi sesuatu yang "aman, legal, dan langka" di Amerika. Ia pun menambahkan bahwa keluargalah, bukan pemerintah, yang harus membuat keputusan tentang hal itu.

Pada tanggal 19 September, Obama secara terbuka menghadiri kebaktian di gereja untuk pertama kalinya dalam hampir enam bulan sejak keluarga itu bergabung dengan kebaktian pada pukul 09.00 di Gereja St John Lafayette Square, sebuah kongregasi Episkopal yang terletak sekitar satu blok dari Gedung Putih. Keluarga itu duduk beberapa baris dari altar, di antara sekitar 40 anggota jemaat.

Sebagai informasi, sebuah survei yang dilakukan pada akhir Juli dan awal Agustus oleh Pew Forum tentang Agama dan Kehidupan Publik menunjukkan, hampir satu dari lima orang Amerika percaya bahwa Obama seorang Muslim. Angka itu naik dari sekitar satu dari 10 orang Amerika yang mengatakan ia Muslim pada tahun lalu. Jumlah orang Amerika yang menyatakan ragu-ragu tentang agama sang Presiden jauh lebih besar dan terus bertumbuh, termasuk di antara basis politik Obama. Sebagai contoh, kurang dari setengah dari pendukung Demokrat dan Afrika-Amerika saat ini mengatakan, Obama seorang Kristen.

Menurut survei Pew yang dirilis bulan lalu, sebagian besar dari mereka yang berpikir Obama seorang Muslim adalah pendukung Republik. Namun, jumlah kelompok independen yang percaya dia Muslim telah berkembang secara signifikan, dari 10 persen tahun lalu menjadi 18 persen pada musim panas ini. Pada Maret 2009, 36 persen orang Afrika-Amerika mengatakan, mereka tidak tahu apa agama Obama. Sekarang, 46 persen warga Afrika-Amerika mengatakan mereka tidak tahu.

Egidius Patnistik

Orang Percaya Yang Teraniaya Adalah Pahlawan Sesungguhnya, Bukan Michael Jackson

Michael Jackson
Pada 26 Juni lalu, sehari setelah kematian Michael Jackson, judul berita utama pada Associated Press yang saya baca adalah "Kita Kehilangan seorang Pahlawan" – Penggemar di Seluruh Dunia Berduka Untuk Raja Pop.”

Dalam cerita tersebut disebutkan tentang beberapa kelompok pemujanya di seluruh dunia, termasuk para pemimpin dunia, menganggap Jackson sebagai “idolaku,” “tuanku” dan seorang performer abadi.

Dalam cerita tersebut juga memuat perkataan mantan wanita pertama Filipina Putri Imelda Marcos yang mengatakan: “…..berbagai tuduhan, penganiayaan yang dialaminya menyebabkan dia mengalami masalah keuangan dan penderitaan batin. Meskipun pengadilan telah memenangkan dia, namun pertempuran tersebut telah merenggut jiwanya. Ada sebuah pelajaran di sini bagi kita semua.”

Ya, ada sebuah pelajaran yang dapat dipelajari! Tetapi bukan mengenai “penganiayaan” selebritis seperti Jackson. Pelajaran nyata yang seharusnya diperhatikan oleh masyarakat di dunia Barat adalah agar mereka mengalihkan perhatian mereka kepada penderitaan dan penganiayaan yang terjadi sehari-hari di negara-negara seperti Korea Utara, Arab Saudi dan Iran.

Saya telah berbicara kepada ratusan Kristiani di negara-negara yang terdapat pembatasan yang mana mereka benar-benar mengalami penganiayaan karena iman mereka terhadap Yesus Kristus. Apa yang dialami oleh Raja Pop dalam hidupnya bukanlah penganiayaan. Dalam persiapan upacara pemakaman Selasa lalu, saudara-saudara lelakinya bahkan tidak menyetujui mengggunakan tradisi agama apa pun dalam prosesi upacara pemakamannya, sehingga mereka memilih untuk menggunakan prosesi non denominasi, menurut New York Daily News.

Biarlah saya meringkas beberapa kejadian penganiayaan Kristiani yang terjadi sejak kematian Michael Jackson pada 25 Juni lalu:

Sedikitnya lima orang terbunuh dan 30 orang dipenjarakan pada Minggu lalu setelah menyusul terjadinya letusan di sebuah gereja Katolik di kota Cotabato, Filipina.

Di Pakistan, setelah seorang Muslim menyerang seorang pekerja Kristiani yang meminta untuk melepaskannya pada 30 Juni lalu, seorang imam di sebuah desa dekat Lahore menggunakan pengeras suara di sebuah mesjid untuk mengumumkan penyerangan terhadap umat Kristiani. Akibatnya, lebih dari 500 umat Muslim mengobrak-abrik dan menjarah sedikitnya 110 rumah, menurut Compass Direct News.

Sebuah berita yang diterima minggu lalu yang menyebutkan bahwa ektrimis Islam telah memenggal kepala dua orang anak laki-laki di Somalia awal tahun ini karena ayah mereka yang beragama Kristen menolak untuk memberikan informasi mengenai seorang pemimpin gereja. Para pembunuh saat ini melakukan penggeledehan di kamp-kamp pengungsian Kenya untuk melakukan hal yang sama terhadap ayah kedua anak tersebut, menurut Compass Direct. Percayalah kepada saya, bahwa ini seperti puncak gunung es yang mencair.

Gambaran seorang pahlawan dalam kamus saya adalah “seorang yang berbeda dalam hal keberaniannya yang luar biasa, keuletan atau usaha kerasnya. Seorang idealis yang memiliki kualitas atau tindakan superior.”

Kristiani yang mempertaruhkan hidup mereka pada garis depan merupakan pahlawan-pahlawan yang sesungguhnya….pahlawan-pahlawan iman.

Saya akan memberitahukan kepada anda tentang seorang pahlawan.

Pada November, 2005, Ghorban Dordi Tourani, seorang Muslim berusia 53 tahun yang berkonversi menjadi Kristen di Iran, telah ditangkap oleh polisi rahasia. Beberapa jam kemudian, tubuhnya yang bersimbah darah dan penuh luka bekas tikaman ditemukan tergeletak di depan rumahnya di Gonbad-E-Kavus, dimana dia tinggal bersama dengan istri dan keempat orang anaknya, menurut Compass Direct. Setahun sebelum kematiannya, Tourani menuliskan doa ini: “Tuhan Yesus, biarlah aku memuliakan nama-Mu yang kudus setiap saat dalam hidupku di bumi. Aku akan memberikan hidupku menjadi milik-Mu, untuk kemuliaan-Mu dan gereja-Mu.”

Para penggemar fanatik Michael Jackson telah megolok-olok seorang pahlawan seperti Ghorban Tourani. Beberapa dari mereka menurut laporan bersedia membayar lebih dari $15.000 secara online untuk tiket upacara pemakaman. Hal itu adalah pernyataan yang menyedihkan yang diucapkan oleh para penggemar dan media “para bintang” Hollywood, dimana banyak diantara mereka yang hidup dalam sebuah dunia fantasi.

Saya memiliki seorang Tuan. Dia adalah Yesus Kristus. Dia adalah satu-satunya yang saya sembah.

Ini mengingatkan saya pada ayat dalam Mazmur 146:3-5: “Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan. Apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya. Berbahagialah orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada Tuhan, Allahnya.”

Diperkirakan sekitar 100 juta orang Kristiani menderita, ditangkap dan bahkan mati karena iman mereka kepada Kristus, dimana jutaan orang lebih mengalami diskriminasi dan pengasingan. Open Doors memberikan dukungan dan menguatkan orang-orang percaya di daerah-daerah yang sangat sulit di dunia melalui pendistribusian Alkitab dan buku-buku Kekristenan, pelatihan kepemimpinan dan bantuan, mengembangkan komunitas Kristen, berdoa dan menghadirkan ministri serta advokasi bagi orang-orang percaya yang menderita. Jika ingin menjadi patner Open Doors USA, dapat menghubungi no bebas pulsa di 888-5-BIBLE-5 (888-524-2535) atau mengunjungi Website kami di www.OpenDoorsUSA.org.


Dr Carl Moeller adalah pesiden/CEO Open Doors USA

Jawaban tentang Pengajaran Palsu dan melihat dengan Persepsi yg benar

oleh Brent Riggs

Saya baru-baru ini bercakap-cakap dengan teman saya. Kami tidak setuju pada beberapa isu Kristen dan saya merasa percakapan kami akan menguntungkan orang lain. Aku sudah sangat netral karena aku tidak berusaha bersengketa dengan teman saya di depan umum. Dialog hanya memberikan saya kesempatan untuk menjawab beberapa pertanyaan umum, jadi saya pikir saya akan posting mereka. Sebelum aku melakukan itu, aku duduk di sini bertanya-tanya "MENGAPA saya? repot-repot" dengan topik ini. Semua hal ini adalah menghasilkan kritik dan pembaca hilang. Tapi kita tidak harus mendasarkan opini kita dan Kebenaran pada popularitas. Ucapkan dengan keyakinan dan tak peduli takut akibatnya.

Tidakkah seharusnya Anda   lebih berhati-hati  menyatakan seseorang Nabi palsu?
Saya sangat setuju untuk lebih  berhati-hati berkaitan dengan pernyataan tentang seseorang apakah dia nabi palsu atau bukan?!baik secara umum atau pribadi  .

 Dengan mengutip pernyataan Rasul Paulus dan Petrus bahwa ," Yesus secara khusus mengingatkan kita bahwa kita harus menentang guru-guru palsu, dan mengenai semua yang kita dengar dan diajarkan harus dievaluasi dengan hati-hati  dan sesuai Kitab Suci..Tetapi Orang2 Kristen di Amerika tidak memper masalahkan hal ini , dengan "terbuka" mereka dapat menerima setiap perubahan2 yang berkaitan dengan Kekristenan, itu sudah pasti. Mereka dengan mudah menerima Hinn's, Bentley dan setiap bentuk kekkristenan baru yang melanda Gereja , dan hanya sedikit sekali yang mau bersikap lebih kritis dengan mengevaluasi berdasarkan firman Tuhan atas setiap pengajaran yang mereka terima .

 Keadaan menjadi lebih buruk lagi , kekristenan Amerika  sebagai tulang punggung telah cukup banyak kehilangan kemampuan untuk melihat, menegur dan menolak nabi2 palsu yang sudah kelihatan secara terang-terangan, seperti menambah-Alkitab  dengan dongeng metafisik, rebah berbaring , membuktikan  secara tertulis dengan mengerikan  menyamar sebagai pengajaran dan uang sebagai pusat  "iman" , Penutur cerita2 dongeng seperti Duplantis dan Hinn. Gereja benar-benar menjadi bimbang antara "menerima" versus "menolak " terutama karena ketidaktahuan pemahaman tentang Alkitab ,karena yang sekarang ada  pengajaran alkitab yang padat telah diganti sebagian besar dengan "mengajar terapeutik" (bagaimana Allah dan Yesus memperbaiki hidup saya ) dan? mengutamakan sensasi.

Profetik Movement

Prophetic Movement
Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus", lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi
Mat 16:4

Untuk pembaca :Gerakan Profetik adalah, gerakan kenabian , sebuah aliran kegelapan, dari si jahat yang dipenuhi rasul-rasul palsu, nabi-nabi palsu, hyper-bidah, penyembuh palsu, dan serakah, lapar uang,yang semuanya dibayangi oleh setan dan kekuatan jahat itu.

Dari Gerakan Nabi datang doktrin setan seperti: manusia adalah 'tuhan' atau 'Allah' Yesus menanggung sifat Setan, berdosa, dan harus dilahirkan kembali di neraka; Allah adalah tunduk pada keinginan manusia dan nafsu,/ hasrat; pengalaman kunjungan ke surga dan neraka; fabrikasi dan berbaring / berpegang pada tanda-tanda dan keajaiban ; mimpi-mimpi diluar Alkitab, visi, dan wahyu; manifestasi orang yang dipenuhi; kemiskinan kemakmuran, dan pertemuan satu- satu dengan malaikat, nabi-nabi Perjanjian Lama, Perjanjian Baru rasul, dan 'Yesus Kristus '.

Banyak klaim dari Gerakan Nabi bahwa mereka hidup bebas sakit , bebas penyakit, dan bahkan bebas dosa (meskipun 1 Yohanes 1:8-10. Perhatikan kata 'kami' dalam ketiga bagian). Tapi satu hal mereka tidak akan hidup bebas dari adalah bebas dari usia tua dan kematian.

Sekarang karena banyak Gerakan nabi maka diantara kelompok hyper-Karismatik bergabung menjadi satu, mereka membawa injil palsu mereka sendiri, roh palsu, dan 'Yesus Kristus,' palsu. yang menyamar diri sebagai malaikat terang, dan didukung oleh rasul-rasul palsu, pekerja curang - pria dan wanita yang muncul sebagai pelayan kebenaran (2 Korintus bab 11).

Dalam 2 Timotius 3:12-13, Rasul Paulus memperingatkan Timotius dengan penuh kasih sayang tentang apa yang diharapkan dari dunia dan serigala berbulu domba:

memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam kristus yesus akan menderita aniaya. Sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat , mereka menyesatkan dan disesatkan.

Seperti halnya dengan setiap sistem kepercayaan yang tidak dari Allah, Gerakan Nabi yang jatuh lebih dalam kepada penipuan dan delusi. yang bangunan-bangunannya hancur; buah-buahnya busuk dan tengik; air nya stagnan, dan udara yang terkontaminasi dan beracun untuk bernapas.

Gerakan Nabi hadir jelas dan menyajikan BAHAYA untuk kesejahteraan mental, fisik, dan rohani orang percaya, serta orang-orang yang mencari Yesus Kristus yang sebenarnya. Kesedihan dan kerusakan yang disebabkan oleh para pemimpin dan pengikutnya kepada orang-orang dan pengikut Kristus adalah luar biasa sekali.

Oleh karena itu, jangan terkejut dengan apa slithers dan spews dari mulut Gerakan Nabi. Yang terburuk belum datang.

sumber cerita dari : Bud press, Christian Research Service 

Siapakah anti Kristus?

Ada banyak spekulasi mengenai identitas dari anti Kristus. Beberapa sasaran yang populer adalah Vladimir Putin, Mahmoud Ahmadinejad dan Paus Benediktus XVI. Di Amerika Serikat, mantan presiden Bill Clinton, presiden sekarang George Bush dan calon presiden Barack Obama adalah yang paling sering disebut. Jadi siapakah anti Kristus dan bagaimana kita dapat mengenalinya?

Alkitab sebetulnya tidak memberikan sesuatu yang spesifik mengenai dari mana anti Kristus akan datang. Banyak sarjana Alkitab yang berspekulasi bahwa dia akan datang dari konfederasi sepuluh negara dan/atau dari kekaisaran Romawi yang lahir kembali (Daniel 7:24-25; Wahyu 17:7). Yang lain melihat dia sebagai orang Yahudi karena dia mengaku sebagai Mesias. Semua ini hanyalah spekulasi semata-mata karena Alkitab tidak secara khusus mengatakan dari mana anti Kristus akan datang atau apa rasnya. Suatu hari anti Kristus akan diungkapkan. 2 Tesalonika 2:3-4 memberitahukan bagaimana kita dapat mengenali anti Kristus: “Janganlah kamu memberi dirimu disesatkan orang dengan cara yang bagaimanapun juga! Sebab sebelum Hari itu haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa, yaitu lawan yang meninggikan diri di atas segala yang disebut atau yang disembah sebagai Allah. Bahkan ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah.”

Kemungkinan besar kebanyakan orang yang masih hidup ketika anti Kristus terungkap akan sangat kaget dengan identitasnya. Anti Kristus mungkin saja hidup pada saat sekarang ini. Martin Luther yakin bahwa Paus pada zamannya adalah anti Kristus. Sejauh ini semuanya salah. Kita seharusnya berhenti berspekulasi dan memusatkan perhatian pada apa yang sebetulnya dikatakan oleh Alkitab mengenai anti Kristus. Wahyu 13:5-8 mengatakan, “Dan kepada binatang itu diberikan mulut, yang penuh kesombongan dan hujat; kepadanya diberikan juga kuasa untuk melakukannya empat puluh dua bulan lamanya. Lalu ia membuka mulutnya untuk menghujat Allah, menghujat nama-Nya dan kemah kediaman-Nya dan semua mereka yang diam di sorga. Dan ia diperkenankan untuk berperang melawan orang-orang kudus dan untuk mengalahkan mereka; dan kepadanya diberikan kuasa atas setiap suku dan umat dan bahasa dan bangsa. Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih.”






Apa beda antara Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali?

Apa beda antara Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali?

Jawaban: Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kristus yang Kedua Kalinya sering dicampur adukkan. Kadang-kadang sulit untuk menentukan apakah Kitab Suci berbicara mengenai Pengangkatan Orang Percaya atau Kedatangan Kedua Kali. Namun demikian, dalam mempelajari nubuat-nubuat Alkitab mengenai zaman akhir, adalah penting untuk membedakan antara keduanya.

Pengangkatan Orang Percaya adalah saat ketika Yesus Kristus datang kembali untuk memindahkan gereja (semua orang yang percaya dalam Kristus) dari bumi ini. Pengangkatan Orang Percaya digambarkan dalam 1 Tesalonika 4:13-18 dan 1 Korintus 15:50-54. Orang-orang percaya yang sudah meninggal dunia akan mengalami kebangkitan tubuh, dan bersama-sama dengan orang-orang percaya yang masih hidup akan bertemu dengan Tuhan di angkasa. Hal ini akan terjadi dalam sekejap mata. Kedatangan Kedua Kali adalah saat di mana Kristus datang kembali untuk mengalahkan anti Kristus, menghancurkan kejahatan dan menegakkan Kerajaan Seribu Tahun. Kedatangan Kedua Kali digambarkan dalam Wahyu 19:11-16.

Perbedaan penting antara Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali adalah sbb:

(1) Pada saat Pengangkatan Orang Percaya, orang-orang percaya akan bertemu dengan Tuhan di angkasa (1 Tesalonika 4:17). Pada Kedatangan Kedua Kali orang-orang percaya kembali ke dunia bersama dengan Kristus (Wahyu 19:14).

(2) Kedatangan Kedua Kali terjadi setelah Kesengsaraan Besar yang mengerikan (Wahyu pasal 6-19). Pengangkatan Orang Percaya terjadi sebelum Kesengsaraan Besar (1 Tesalonika 5:9; Wahyu 3:10).

(3) Pengangkatan Orang Percaya adalah orang-orang percaya dipindahkan dari bumi sebagai tindakan pembebasan (1 Tesalonika 4:13-17; 5:9). Kedatangan Kedua Kali termasuk disingkirkannya mereka yang tidak percaya sebagai tindakan penghakiman (Matius 24:40-41).

(4) Pengangkatan Orang Percaya bersifat “rahasia” dan dalam sekejap mata (1 Korintus 15:50-54). Kedatangan Kedua Kali akan kelihatan kepada semua orang (Wahyu 1:7; Matius 24:29-30).

(5) Kedatangan Kristus yang Kedua Kali tidak akan terjadi sampai beberapa kejadian akhir zaman terjadi (2 Tesalonika 2:4; Matius 24:15-30; Wahyu pasal 6-18). Pengangkatan Orang Percaya sudah dekat, dapat terjadi kapan saja (Titus 2:13; 1 Tesalonika 4:13-18; 1 Korintus 15:50-54).


Mengapa penting untuk membedakan Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali?

(1) Kalau Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali adalah peristiwa yang sama, orang-orang percaya harus melalui masa Kesengsaraan Besar (1 Tesalonika 5:9; Wahyu 3:10).

(2) Kalau Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali adalah peristiwa yang sama, kembalinya Kristus tidak akan terjadi dalam waktu dekat … ada banyak hal yang harus terjadi sebelum Dia datang kembali (Matius 24:4-30).

(3) Dalam menggambarkan masa Kesengsaraan Besar, Wahyu 6-9 tidak pernah menyebut gereja. Selama masa Kesengsaraan Besar – juga disebut sebagai “masa kesusahan Yakub” (Yeremia 30:7) – Allah akan kembali memberi perhatian utama kepada Israel (Roma 11:17-31).

Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali sama namun merupakan kejadian yang berbeda. Keduanya adalah peristiwa akhir zaman. Namun demikian, ada penting untuk mengenali perbedaannya. Secara ringkas, Pengangkatan Orang Percaya adalah kembalinya Kristus di awan-awan untuk memindahkan semua orang percaya dari bumi sebelum masa kemurkaan Allah. Kedatangan Kedua Kali adalah kembalinya Kristus ke bumi untuk mengakhiri Kesengsaraan Besar dan mengalahkan anti Kristus dan kerajaan dunianya yang jahat.

Apakah itu Kerajaan Seribu Tahun, dan apakah Kerajaan Seribu Tahun harus dipahami secara harafiah?

Kerajaan Seribu Tahun adalah nama yang diberikan untuk 1000 tahun pemerintahan Yesus Kristus di atas bumi. Sebagian orang berusaha menafsirkan 1000 tahun ini secara allegoris. Sebagian lainnya memahami 1000 tahun sebagai cara figuratif untuk mengatakan “masa yang panjang.” Hal ini menyebabkan beberapa orang tidak mengharapkan pemerintahan Yesus secara fisik dalam dunia ini. Namun demikian, dalam Wahyu 20:2-7, enam kali Kerajaan Seribu Tahun dikatakan secara spesifik akan berlangsung selama 1000 tahun. Kalau Allah ingin mengkomunikasikan “masa yang panjang,” Dia dapat dengan mudah melakukan itu tanpa secara eksplisit dan berulang kali menyebutkan waktu yang tepat.

Alkitab memberitahu kita ketika Kristus datang kembali, Dia akan menetapkan diriNya sebagai Raja di Yerusalem, duduk di atas tahta Daud (Lukas 1:32-33). Perjanjian-perjanjian yang tanpa syarat menuntut kedatangan Kristus kembali secara harafiah dan secara fisik untuk mendirikan kerajaanNya. Perjanjian dengan Abraham menjanjikan Israel tanah, keturunan, penguasa dan berkat rohani (Kejadian 12:1-3). Perjanjian Palestina menjanjikan Israel pemulihan ke tanah perjanjian dan penguasaan terhadap tanah itu (Ulangan 30:1-10). Perjanjian Daud menjanjikan pengampunan pada Israel, suatu cara bagi bangsa itu untuk mendapat berkat (Yeremia 31:31-34).

Pada kedatangan kedua kali, semua perjanjian ini akan digenapi saat Israel dikumpulkan kembali dari antara bangsa-bangsa (Matius 24:31), bertobat (Zakharia 12:10-14), dan dipulihkan kembali ke tanah perjanjian di bawah pemerintahan Mesias, Yesus Kristus. Alkitab berbicara mengenai keadaan pada zaman 1000 tahun itu sebagai lingkungan yang sempurna, secara fisik dan rohani. Zaman itu akan menjadi zaman damai (Mikha 4:2-4; Yesaya 32:17-18); sukacita (Yesaya 61:7, 10); penghiburan (Yesaya 40:1-2), di mana tidak ada kemiskinan (Amos 9:13-15) atau penyakit (Yoel 2:28-29). Alkitab juga memberitahu kita bahwa hanya orang-orang percaya yang akan memasuki Kerajaan Seribu Tahun. Karena itu, masa ini akan menjadi masa yang penuh dengan keadilan (Matius 25:37, Mazmur 24:3-4); ketaatan (Yeremia 31:33); kesucian (Yesaya 35:8); kebenaran (Yesaya 65:16) dan kepenuhan Roh Kudus (Yoel 2:28-29). Kristus akan memerintah sebagai Raja (Yesaya 9:3-7; 11:1-10) dengan Daud sebagai wali (Yeremia 33:15, 17, 21; Amos 9:11). Para pemimpin juga akan memerintah (Yesaya 32:1; Matius 19:28). Yerusalem akan menjadi pusat “politik” dunia (Zakharia 8:3).

Wahyu 20:2-7 hanya memberi jangka waktu yang tepat untuk Kerajaan Seribu Tahun. Tanpa ayat-ayat inipun ada tak terhingga ayat-ayat lainnya yang menunjuk pada pemerintahan Mesiassecara harafiah di bumi. Penggenapan dari berbagai perjanjian Tuhan bergantung pada kerajaan secara harfiah dan secara fisik di masa yang akan datang. Tidak ada dasar yang kuat untuk menolak pengertian harafiah mengenai Kerajaan Seribu Tahun dan bahwa jangka waktunya adalah seribu tahun.

Apa itu Pengangkatan Gereja?

Kata “pengangkatan” tidak muncul di dalam Alkitab. Namun demikian, konsep mengenai Pengangkatan diajarkan dengan jelas dalam Alkitab. Pengangkatan Gereja adalah peristiwa di mana Allah memindahkan semua orang percaya dari bumi ini untuk membuka jalan bagi penghakimanNya yang adil ditumpahkan ke bumi pada masa Tribulasi. Pengangkatan terutama dilukiskan dalam 1 Tesalonika 4:13-18 dan 1 Korintus 15:50-54. 1 Tesalonika 4:13-18 menggambarkan Pengangkatan sebagai Allah membangkitkan semua orang percaya yang telah meninggal, memberi mereka tubuh kemuliaan, dan kemudian meninggalkan dunia ini bersama dengan orang-orang percaya yang masih hidup, yang juga telah diberikan tubuh kemuliaan. “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan” (1 Tesalonika 4:16-17).

1 Korintus 15:50-54 memusatkan pada natur Pengangkatan yang bersifat mendadak dan pada tubuh kemuliaan yang akan kita terima. “Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah” (1 Korintus 15:51-52). Pengangkatan adalah suatu peristiwa yang mulia yang kita perlu rindukan. Pada akhirnya kita akan bebas dari dosa. Kita akan berada di hadapan Allah untuk selamanya. Ada terlalu banyak perdebatan mengenai makna dan cakupan dari Pengangkatan. Bukan ini maksud Tuhan. Dalam hubungannya dengan Pengangkatan, Allah ingin kita menghiibur “seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini.”

kapan Pengangkatan orang percaya akan terjadi?

Waktu Pengangkatan orang percaya dalam hubungannya dengan Tribulasi (kesengsaraan) adalah salah satu isu paling kontroversial dalam gereja saat ini. Tiga pandangan utama adalah: Pratribulasi (Pengangkatan orang percaya terjadi sebelum Tribulasi), Midtribulasi (Pengangkatan orang percaya terjadi di tengah-tengah Tribulasi), dan Pascatribulasi (Pengangkatan orang percaya terjadi pada akhir dari Tribulasi). Pandangan ke empat, yang lazimnya dikenal sebagai Pra-Murka adalah posisi Midtribulasi yang dimodifikasi sedikit.

Pertama, adalah penting untuk mengenali tujuan dari Tribulasi. Menurut Daniel 9:27 ada tujuh “masa” (7 tahun) yang masih akan datang. Keseluruhan nubuat Daniel mengenai tujuh puluh masa (Daniel 9:20-27) berbicara mengenai bangsa Israel. Ini adalah masa di mana Tuhan memusatkan perhatianNya secara khusus pada Israel. Walaupun ini tidak merupakan indikasi bahwa gereja tidak lagi ada, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai mengapa gereja masih perlu ada di atas bumi pada waktu itu.

Ayat Alkitab yang utama mengenai Pengangkatan orang percaya adalah 1 Tesalonika 4:13-18. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang percaya, bersama dengan orang-orang percaya yang telah meninggal, akan bertemu dengan Tuhan di angkasa dan akan bersama-sama dengan Dia selama-lamanya. Pengangkatan orang percaya adalah Tuhan memindahkan umatNya dari bumi ini. Dalam 5:9 Paulus mengatakan, “Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Tesalonika 5:9). Kitab Wahyu yang secara utama berbicara mengenai masa Tribulasi adalah berita nubuatan mengenai bagaimana Tuhan akan mencurahkan murkaNya atas bumi ini pada saat Tribulasi. Adalah tidak konsisten untuk Tuhan menjanjikan orang-orang percaya bahwa mereka tidak akan mengalami murka Tuhan namun membiarkan mereka di bumi pada masa Tribulasi. Fakta bahwa Allah berjanji melepaskan orang-orang Kristen dari murkaNya tidak lama setelah berjanji untuk menyingkirkan umatNya dari bumi ini nampaknya menghubungkan kedua peristiwa ini. 

Bagian Alkitab lain yang krusial mengenai waktu dari Pengangkatan orang percaya adalah Wahyu 3:10. Di sana Kristus berjanji melepaskan orang-orang percaya dari “hari pencobaan” yang akan datang atas seluruh dunia. Ini dapat berarti dua hal: (1) Kristus akan melindungi orang-orang percaya di tengah pencobaan, atau (2) Tuhan akan membebaskan orang-orang percaya dari pencobaan. Keduanya adalah arti yang sah dari kata dalam Bahasa Yunani yang diterjemahkan “dari.” Ini bukan hanya pencobaan, namun “hari” pencobaan. Kristus berjanji untuk memelihara orang-orang percaya dari masa pencobaan, yaitu Tribulasi. Tujuan dari Tribulasi, tujuan dari Pengangkatan orang percaya, arti dari 1 Tesalonika 5:9, dan penafsiran Wahyu 3:10 semua memberi dukungan jelas pada pandangan Pratribulasi. Jikalau Alkitab ditafsirkan secara harafiah dan konsisten, pandangan Pratribulasi adalah pandangan yang paling konsisten dengan Alkitab.

Apa itu Kedatangan Kristus yang Kedua Kalinya?

Kedatangan Kristus yang Kedua Kalinya adalah pengharapan dari orang-orang percaya bahwa Tuhan mengontrol segala sesuatunya dan setia pada janji-janji dan nubuatan dalam FirmanNya. Pada kedatanganNya yang pertama, Yesus Kristus datang ke dunia ini sebagai seorang bayi di palungan di Betlehem, sebagaimana dinubuatkan. Yesus memenuhi banyak nubuat mengenai Mesias dalam kelahiran, hidup, pelayanan, kematian dan kebangkitanNya. Namun ada beberapa nubuat mengenai Mesias yang Yesus belum genapi. Kedatangan Kristus Kedua Kali akan merupakan kembalinya Kristus untuk memenuhi semua nubuat yang masih tersisa ini. Pada kedatanganNya yang pertama kali, Yesus datang dalam keadaan yang sangat sederhana. Pada kedatanganNya yang kedua kalinya, Yesus akan datang dengan bala tentara Surga mengiringi Dia.

Para nabi Perjanjian Lama tidak membedakan kedua kedatangan ini. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat seperti Yesaya 7:14; 9:6-7 dan Zakharia 14:4. Akibat dari nubuat yang sepertinya berbicara mengenai dua individu banyak sarjana Yahudi yang percaya bahwa akan ada Mesias yang menderita dan Mesias yang menang. Apa yang mereka tidak pahami adalah bahwa Mesias yang sama akan memenuhi kedua peranan ini. Yesus menggenapi peran dari hamba yang menderita (Yesaya 53) pada kedatanganNya yang pertama. Yesus akan menggenapi peran sebagai Pembebas dan Raja Israel pada kedatanganNya yang kedua. Zakharia 12:10 dan Wahyu 1:7 menggambarkan Kedatangan yang Kedua Kali, mengenang kembali saat Yesus ditikam. Israel, dan seluruh dunia, akan meratap karena tidak menerima Mesias saat Dia datang untuk pertama kalinya.

Setelah Yesus naik ke Surga, para malaikat memberitahukan para rasul, "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga." (Kisah 1:11). Zakharia 14:4 mengidentifikasikan tempat Kedatangan yang Kedua Kalinya sebagai Bukit Zaitun. Matius 24:30 menyatakan, “Pada waktu itu akan tampak tanda Anak Manusia di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.” Titus 2:13 menggambarkan Kedatangan yang Kedua Kalinya sebagai “pernyataan kemuliaan.”

Kedatangan yang Kedua Kali dibicarakan dengan terperinci dalam Wahyu 19:11-16, “ Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: "Yang Setia dan Yang Benar", Ia menghakimi dan berperang dengan adil. Dan mata-Nya bagaikan nyala api dan di atas kepala-Nya terdapat banyak mahkota dan pada-Nya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui seorangpun, kecuali Ia sendiri. Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: "Firman Allah." Dan semua pasukan yang di sorga mengikuti Dia; mereka menunggang kuda putih dan memakai lenan halus yang putih bersih. Dan dari mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam yang akan memukul segala bangsa. Dan Ia akan menggembalakan mereka dengan gada besi dan Ia akan memeras anggur dalam kilangan anggur, yaitu kegeraman murka Allah, Yang Mahakuasa. Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: "RAJA SEGALA RAJA DAN TUAN DI ATAS SEGALA TUAN"” (Wahyu 19:11-16)

Apa itu Apocalypse ?

Kata “apocalypse” berasal dari kata Yunani “apocalupsis” yang berarti “membuka, menyingkapkan, menyingkirkan tutup.” Kitab Wahyu sering kali disebut sebagai “Wahyu Yohanes” karena Allah mengungkapkan zaman akhir kepada Rasul Yohanes. Selanjutnya, kata Yunani untuk apocalypse adalah kata pertama dalam naskah Yunani dari kitab Wahyu. Frasa “literatur apokaliptik” digunakan untuk menggambarkan penggunaan simbol-simbol, gambar-gambar, dan bilangan-bilangan untuk menguraikan kejadian di masa yang akan datang. Di luar kitab Wahyu, contoh dari literatur apokaliptik dalam Alkitab adalah Daniel 7-12, Yesaya 24-27, Yehezkiel 37-41, dan Zakharia 9-12.

Mengapa literatur apokaliptik ditulis dengan simbolisme dan kiasan semacam ini? Kitab-kitab apokaliptik ditulis ketika adalah lebih bijak untuk menyamarkan berita yang disampaikan dalam bentuk gambar dan simbol daripada menyampaikannya dalam bahasa sederhana/jelas. Lagipula, simbolisme menciptakan unsur misteri mengenai waktu dan tempat yang terinci. Namun demikian, tujuan dari simbolisme bukan untuk menciptakan kebingungan, namun untuk mengajar dan mendorong para pengikut Allah di zaman yang sukar.

Selain dari makna Akitabiah yang khusus, istilah “kiamat (apocalypse)” sering digunakan untuk merujuk pada zaman akhir secara umum, atau khususnya pada bagian akhir dari zaman akhir. Kejadian-kejadian zaman akhir seperti Kedatangan Kristus yang Kedua Kali dan Peperangan Harmagedon sering disebut sebagai kiamat (apocalypse). Kiamat (apocalypse) akan merupakan pengungkapan paling akhir dari Allah, murkaNya, keadilanNya, dan yang paling penting adalah kasihNya. Yesus Kristus adalah “pengungkapan” Allah yang terutama karena Dia mengungkapkan Allah kepada kita (Yohanes 14:9; Ibrani 1:2).

Apa tanda-tanda akhir zaman?

Jawaban atas Pertanyaan Apa tanda-tanda Akhir Zaman ialah :

Matius 24:5-8 memberi kita beberapa petunjuk penting sehingga kita dapat memahami mendekatnya akhir zaman. “Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang. Kamu akan mendengar deru perang atau kabar-kabar tentang perang. Namun berawas-awaslah jangan kamu gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya. Sebab bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan. Akan ada kelaparan dan gempa bumi di berbagai tempat. Akan tetapi semuanya itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru.” Bertambahnya mesias-mesias palsu, bertambahnya peperangan, bertambahnya kelaparan, penyakit dan bencana-bencana alam – semua ini adalah “tanda-tanda” akhir zaman. Bahkan dalam ayat-ayat ini kita diberikan peringatan. Jangan sampai kita ditipu (Matius 24L4), karena peristiwa-peristiwa ini hanyalah permulaan dari sakit melahirkan (Matius 24:8), kesudahannya masih akan datang (Matius 24:6).

Banyak penafsir yang menunjuk pada setiap gempa bumi, setiap pergolakan politik, dan setiap serangan terhadap Israel sebagai tanda bahwa akhir zaman segera tiba. Walaupun peristiwa-peristiwa ini adalah tanda-tanda bahwa akhir zaman sementara mendekat, hal ini tidak berarti bahwa akhir zaman sudah tiba. Rasul Paulus mengingatkan bahwa “di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan” (1 Timotius 4:1). Hari-hari terakhir dilukiskan sebagai “masa yang sukar” karena meningkatnya kejahatan manusia dan orang-orang yang secara aktif “menolak kebenaran” (2 Timotius 3:1-9; lihat pula 2 Tesalonika 2:3).

Tanda-tanda lain yang mungkin antara lain adalah dibangunnya kembali tempat suci orang Yahudi di Yerusalem, meningkatnya permusuhan terhadap Israel dan perkembangan ke arah satu pemerintahan dunia. Tanda akhir zaman yang paling utama adalah negara Israel. Pada tahun 1948 Israel untuk pertama kalinya sejak tahun 70 A.D. diakui sebagai negara yang berdaulat. Tuhan sudah berjanji kepada Abraham bahwa keturunannya akan memiliki Kanaan sebagai “milik untuk selama-lamanya” (Kejadian 17:8), dan Yehezkiel menubuatkan kebangunan kembali Israel secara fisik dan rohani (Yehezkiel 37). Dari sudut pandang nubuat akhir zaman, adanya Israel sebagai bangsa di tanahnya sendiri adalah hal yang penting karena pentingnya Israel dalam eskatologi (Daniel 10:14; 11:41; Wahyu 11:8).

Dengan mengingat tanda-tanda ini, kita dapat bersikap bijak dalam hal pengharapan akhir zaman. Namun kita tidak boleh menafsirkan salah satu dari tanda-tanda ini sebagai indikasi jelas bahwa akhir zaman akan segera tiba. Tuhan telah memberi kita informasi yang cukup sehingga kita dapat mempersiapkan diri, namun tidak cukup untuk membuat kita menjadi sombong.

Rumah Ibadah, Mengapa selalu Bermasalah ?

Rasanya sulit dipahami akal sehat, di sebuah negara yang mengaku "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai raison d'être-nya, pembangunan rumah ibadah justru jadi masalah yang sangat pelik dan merepotkan banyak pihak. Begitu pelik dan merepotkan, sehingga banyak orang layak bertanya-tanya: Mengapa izin membangun rumah ibadah jauh lebih sulit diurus ketimbang membangun diskotek atau night club? Sebenarnya apa yang salah dengan rumah ibadah?
Celakanya tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan yang sederhana itu. Di balik persoalan yang tampaknya sepele-coba, apa sulitnya membangun sebuah tempat yang, kemudian, dipakai sebagai rumah ibadah, sesuatu yang jauh lebih mulia ketimbang tempat maksiat-justru terselip rajutan berbagai soal yang bagai benang kusut, mulai dari ketidakpahaman (dalam artian ignorance), pengalaman marjinalisasi yang menyakitkan, riwayat dendam dan permusuhan berabad-abad, sampai kepentingan dan kalkulasi politik maupun ekonomi sesaat.
Esai ini tidak berpretensi mau memberi penyelesaian-saya curiga, penyelesaian menyeluruh soal ini mungkin tidak akan pernah dapat dicapai. Begitu juga, esai ini tidak punya pretensi menyibak rajutan benang kusut yang melatari kompleksitas persoalan rumah ibadah. Dibutuhkan penelitian menyeluruh yang jangkauannya di luar kemampuan esai ini-sekalipun, pada saat bersamaan, perlu dicatat persoalan rumah ibadah selayaknya dilihat kasus demi kasus dengan seluruh kompleksitasnya, dan tidak mudah terjebak ke dalam praktik serba gebyah-uyah yang sembrono.
Dua Rajutan
Apa yang mau diusulkan di sini adalah ancang-ancang awal untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh yang masih harus dikerjakan. Jelas, untuk itu dibutuhkan penyederhanaan. Saya akan mengambil dua rajutan sebagai pintu masuk untuk melihat kompleksitas itu. Pertama, pada tataran paguyuban keagamaan, soal ketidakpahaman (dalam artian ignorance tadi), dan miskinnya informasi dasar yang mencerminkan religious illiteracy akut dalam pendidikan keberagamaan. Padahal informasi sederhana ini bisa berakibat panjang.
Ambil contoh sehari-hari. Jarang orang paham bahwa karena latar formasi historisnya yang sangat kompleks, umat Kristiani membutuhkan gedung ibadah berbeda-beda guna menampung denominasi yang berbeda-beda pula. Seorang anggota gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), misalnya, tidak dapat begitu saja beribadah di gedung gereja GKJ (Gereja Kristen Jawa) atau gereja Pantekosta, apalagi di gereja Katolik, sekalipun gedung gereja itu dekat dengan lokasi rumahnya.
Ini punya implikasi penting: kalau data yang ada memperlihatkan bahwa gedung gereja terus bertambah (Depag pernah mengatakan angka pertambahan gedung gereja yang fantastis: lebih dari 100 persen!), maka gejala itu tidak secara otomatis berarti penambahan umat kristiani, sebagai akibat "kristenisasi" atau "pemurtadan" yang sangat menggelisahkan banyak orang.
Ketiadaan informasi sederhana yang akut itu menambah kompleks dan keruh persoalan rumah ibadah, malah memancing reaksi penyikapan dan tindakan yang ekstrem. Masalahnya jadi begitu kompleks ketika diletakkan pada konteks rajutan.
Kedua, perasaan terpinggirkan (atau dipinggirkan?). Saya selalu ingat cerita seorang teman, aktivis Muslim modernis, ketika ia pertama kali tiba di Jakarta tahun 1960-an. Di jalan-jalan besar yang ditemuinya hanyalah bangunan gedung gereja megah, sementara masjid dan surau terletak di gang-gang sempit, becek, dan bau. Ia mengaku jujur pada saya, waktu itu dalam hati ia mengumpat,
Syukurlah, teman saya hanya mengumpat dalam hati. Kini dia malah dikenal sebagai salah satu tokoh penggiat pluralisme yang tidak kunjung lelah berusaha membangun jembatan saling pengertian antarkelompok. Tetapi, sekalipun lingkungannya sudah jauh berubah, di balik cerita sederhananya itu bisa menjadi warisan kecurigaan yang menjadi subkultur relasi Islam-Kristen sampai sekarang. Rezim Orba, yang dibangun di atas marjinalisasi umat Islam, setidaknya sampai 1990-an, telah menanamkan akar kecurigaan antarkelompok yang sangat dalam dan akan terus menjadi mambang dalam setiap relasi antar umat beragama. Ditambah dengan religious illiteracy yang sudah disinggung di atas, maka persoalan pembangunan rumah ibadah menampilkan kisi- kisinya yang sangat kompleks.
Kini jadi jelas, persoalan pembangunan rumah ibadah tidak dapat dibahasakan melulu dalam bahasa universal HAM, maupun jaminan konstitusional dan kemauan politik pemerintah. Bukan saja karena bahasa HAM maupun jaminan konstitusional itu belum menjadi legally binding products yang dapat diterapkan secara konkret, tetapi juga karena persoalan itu mencerminkan pergulatan sosio-historis yang ranahnya melangkaui urusan legalitas semata. Kontroversi diskursus Peraturan Bersama Menag-Mendagri (selanjutnya: PBM) No 9/2006 dan 8/2006 memperlihatkan soal itu dengan gambling).
 

Politik Perukunan
Pertama-tama perlu dikatakan bahwa PBM bukan sekadar revisi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag-Mendagri No 01/BER/ mdn-mag/1969 yang telah menuai banyak kontroversi, tetapi kebijakan yang sama sekali baru dan melangkaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat Menteri. Memang PBM-berbeda dengan SKB yang semena-mena diputuskan-digodok bersama institusi-institusi keagamaan dalam negosiasi yang alot. Begitu juga, dibanding SKB, PBM memberi ketegasan soal syarat-syarat (psl 13 dan 14) untuk mengurus ijin mendirikan rumah ibadah serta tenggat waktu yang lebih jelas: paling lama 90 hari setelah permohonan diajukan, kepastian ijin sudah harus diberikan (psl 16:2). Masalahnya, PBM tidak mencantumkan sanksi apa yang akan diberikan jika ketentuan ini dilanggar.
Tetapi, yang jauh lebih problematis, PBM menciptakan mekanisme dan forum yang nantinya akan memegang peranan sentral: Fo- rum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)-sesuatu yang melampaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat menteri! Forum ini nantinya akan menjadi mekanisme satu-satunya untuk menata, mengatur, dan mengendalikan relasi antarumat beragama, dan menjadi pemegang monopoli rekomendasi ijin pembangunan rumah ibadah.
Sangat kuat dugaan bahwa FKUB akan menjadi ujung tombak dari apa yang saya sebut sebagai "politik perukunan", proyek paling ambisius Depag di masa Orde Baru, di mana kerukunan tidak dilihat sebagai hasil praktik perjumpaan sehari-hari dalam masyarakat majemuk, melainkan sebagai sesuatu yang perlu diatur, diawasi, dan dikendalikan oleh tangan-tangan kekuasaan.
Asumsinya, masyarakat sendiri-termasuk di dalamnya institusi-institusi keagamaan!-tidak mampu menjaga kerukunan, sehingga dibutuhkan tangan-tangan Negara. Asumsi inilah yang dulu, pada tahun 2003, dijadikan landasan Depag mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang penuh kontroversi. PBM, dengan penciptaan FKUB-nya, adalah "anak tidak sah" RUU KUB tersebut.
Masih terlalu pagi untuk menilai seberapa efektifkah PBM dan FKUB. Tetapi dengan melihat watak dasar "politik perukunan" yang menjadi paradigmanya, dan dengan religious illiteracy serta warisan serba-curiga yang menandai relasi antar-pemeluk agama selama ini, saya khawatir FKUB akan mudah dijadikan ajang kontestasi untuk mempertahankan supremasi mayoritas di suatu wilayah-sembari menafikan kelompok-kelompok minoritas di wilayah tersebut. Apalagi sebagai pemegang monopoli rekomendasi izin pendirian rumah ibadah, FKUB juga rentan menjadi sarang korupsi.
Jadi, menurut saya, sudah tiba waktunya institusi-institusi keagamaan memainkan peran lebih besar dengan secara kritis mengawasi sepak terjang FKUB. Wadah ini, sungguh, akan sangat menentukan wajah relasi antar umat beragama di masa mendatang dan, pada gilirannya, menentukan apakah Indonesia memang masih menjadi "rumah bersama" bagi setiap kelompok.
**Penulis adalah koordinator program MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), Jakarta
Sumber: Suara Pembaruan

Ketika Tuhan-Agama Tak Berdinding

Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat—yang merupakan revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969—telah ditandatangani.


Selanjutnya, surat yang lebih dikenal sebagai sumber polemik ihwal pendirian rumah ibadat—termasuk yang memicu pelarangan ibadat—itu akan melalui tahap implementasi di lapangan.
Seperti sudah diduga sebelumnya, reaksi yang terjadi adalah beberapa rumah yang dijadikan tempat ibadah ditutup oleh warga. Penutupan lebih karena tidak dipenuhinya persyaratan sesuai SPB.
Secara tidak langsung tersirat bahwa terpenuhinya syarat sesuai SPB lebih tinggi nilainya daripada ibadat itu sendiri. Substansi ibadat kepada Tuhan mengalami degradasi, tidak lebih penting dari persyaratan pendirian rumah ibadat.

Transformasi Ibadat

Terlepas dari perdebatan soal perlu tidaknya izin pendirian rumah ibadat (dalam praktiknya mencakup pula izin beribadat), sisi positif kasus ini membuka mata perihal keberagamaan baru. Baru di sini bukan berarti pertama kali ada, tetapi baru dalam arti pemeluk agama disadarkan akan ketidakterbatasan Tuhan yang menjadi tujuan ibadat, yang mestinya juga terbawa dalam ketidakterbatasan cara beribadat kepada-Nya.

Mereka yang menentang SPB sebagai revisi SKB mengatakan bahwa ibadat tidak perlu memakai izin. Setiap pemeluk agama berhak untuk membangun rumah ibadat dan melaksanakan ibadat sesuai keyakinannya, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Di satu sisi pernyataan ini benar dan berupaya meletakkan ideal beragama di tengah masyarakat plural. Namun di sisi lain juga menjadi absurd karena dengan menolak syarat izin pendirian rumah ibadat yang sudah ditetapkan pemerintah, justru telah mengingkari sifat ketidakterbatasan Tuhan—yang berizin atau tidak, memenuhi syarat atau tidak—tidak terpengaruh olehnya. Ketidakterbatasan Tuhan mestinya akan membuka peluang cara beribadat baru kepada-Nya.

Bahwa sekalipun ibadat harus mempunyai izin dengan tanda tangan ber-KTP dari jemaah sebanyak 90 orang dan dari masyarakat sekitar 60 tanda tangan sesuai syarat SPB, menjadi absurd jika disandingkan dengan sifat ke-Maha-an Tuhan tadi. Izin memang bisa menghambat pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat dengan cara dan kebiasaan yang sudah berjalan. Tapi peraturan yang dirasakan membatasi itu mestinya justru membuka cara beribadat baru yang tak habis-habisnya, sesuai sifat-Nya yang Maha Tak Terbatas.

Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat terhambat soal izin di atas. Yang terhambat hanya pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat sebagai kebiasaan selama ini, namun tetap tak terbatas dalam cara beribadat baru, yang bebas dari ’terkondisikan’ untuk meminta izin seperti disyaratkan.


Tuhan, rumah ibadat dan cara beribadat kepada-Nya bebas dari aturan politik dan legitimasi sosial. Itu semua bukan soal perlu atau tidak perlu izin, tetapi memang substansinya tidak mengenal izin karena sifatnya yang transenden, rohaniah, bahkan imaniah yang undang-undang pun tak bisa menjangkaunya.

Dengan membuka wawasan dan kesadaran baru tentang sifat kemahaan Tuhan, setiap upaya manusia untuk membatasi pendirian rumah ibadat (yang notabene diyakini juga rumah untuk bertemu dengan Tuhan, bahkan "Rumah Tuhan") hanya menjadi penghambat kecil, bahkan akan tergerus oleh sifat Maha Tak Terbatas. SPB tidak lagi dipandang sebagai hambatan karena Tuhan akan membuka cara beribadat yang baru dan kreatif. Sebuah transformasi ibadat.


"Tuhan Tanpa Rumah"
Pascapenandatanganan SPB yang bisa dilakukan ialah membuka seluas mungkin cara beragama baru yang tidak terbentur pada soal izin mendirikan rumah ibadat. Dengan kata lain, upaya matematikanisasi kegiatan spiritual—dengan syarat 90 jemaat ber-KTP dan 60 orang lingkungan sekitar sebagai ’baptis politik’ pemerintah dan ’baptis sosial’ warga sekitar—agar ibadat aman dan sah, perlu disikapi dengan membuka pintu teologi baru atas pendirian ’rumah Tuhan’ dan rutinitas beribadat kepada-Nya.

Sebetulnya tidak ada yang hilang, sekalipun rumah ibadat tidak boleh didirikan atau bahkan yang sudah berjalan ditutup. Meski rumah ibadat diidentikkan sebagai ’rumah Tuhan’, penutupan rumah ibadat tidak berarti ’Tuhan kehilangan rumah’. Justru sebaliknya, pendirian rumah ibadat termasuk pelarangan dan penutupan hanya karena tidak memenuhi syarat sehingga tak berizin, mengingatkan kembali tentang substansi ’Tuhan tanpa rumah’.

Meminjam terminologi Kristen, di mana Anak Manusia (baca: Tuhan) tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya. Jangankan rumah ibadat, rumah-Nya, bantal saja tak punya. Teologi ’Tuhan tanpa rumah’ ini justru membebaskan agama dan umat untuk mencari cara ibadat yang tak terbatasi oleh bangunan dan ritual-ritualnya.

Rumah ibadat adalah seluruh alam semesta, yakni di mana saja dan ritual-ritual peribadatan langsung terefleksikan pada keseharian hidup umat beragama dari hati, pikiran ke perilaku sebagai jantung dan etalase ibadat itu sendiri. Selama ini telah terjadi institusionalisasi ibadat, bahwa ibadat hanya dalam rumah ibadat saja, di luar itu dianggap belum atau tidak melakukan ibadat.


Agama tanpa tembok

Dalam konteks agama, matematikanisasi izin pendirian dan kegiatan peribadatan di dalamnya, justru membuka peluang lahirnya agama tanpa tembok (religion without wall) sebagai konsekuensi teologi ’Tuhan tanpa rumah’. Hal mana sejalan dengan prinsip-prinsip universal agama bahwa agama bukan sekadar ditandai dengan bangunan fisik atau ritual ibadat. Tetapi agama adalah organisme hidup, kumpulan mereka yang percaya kepada yang transenden. Primary concern agama dalam hal ini ialah manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dan bukan semata tempat ibadat dan simbol-simbol keagamaan.

Dakwah agama dengan demikian juga tidak terbatas pada komunitas jemaah lokal (at stated times), tetapi dengan terbebas dari sindrom pendirian rumah ibadat, agama justru dibukakan ladang dakwah baru di mana saja. Sikap agama terhadap SPB yang mensyaratkan pendirian rumah ibadat dengan demikian seharusnya disikapi kebalikannya, yakni dengan menerima tanpa syarat (unconditional acceptance).

Agama tanpa tembok dengan demikian menjadi visi dan cara baru beribadat. Ia lebih mendorong praktik agama yang lebih inklusif dibanding sebelumnya yang tetap mempertahankan etalase rumah ibadat, simbol dan ritual yang eksklusif.

Inilah pokok terpenting dari polemik SPB. Tidak perlu dikhawatirkan bahwa SPB akan melarang hak beribadah seseorang. Meski fenomena rumah ibadat ditutup dengan alasan tidak memenuhi persyaratan SPB, hal ini justru menjadi batu penguji tingkat keberagamaan seseorang.

Kita tahu bahwa memeluknya seseorang kepada suatu agama lebih karena panggilan yang bersifat transenden yang diyakininya, bahwa dengan percaya kepada agamanya inilah ia menjadi orang yang beruntung dan diselamatkan. Ini berarti memeluk agama membutuhkan a Call (sebuah panggilan). Dengan tidak adanya tempat ibadat, keberagamaan seseorang justru dikondisikan untuk mendahulukan a Call-nya (panggilan kepada agamanya) daripada sekadar tersedianya a Wall (tembok rumah ibadat).

Sisi positif SPB ialah kemungkinannya melahirkan pola keberagamaan baru yang kuat karena penekanan pada a Call dan bukan sekadar a Wall. Panggilan agama yang tertoreh di relung hati yang paling dalam yang memancar pada kehidupan sehari-hari dan bukan sekadar pergi ke rumah ibadat dengan mengusung simbol agama dan ritualismenya yang rentan.

Stevanus Subagijo Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Sumber: Kompas

Teologi Baptisan ROH KUDUS (Baptisan dengan Roh Kudus )


Klik disini: : TEOLOGI BAPTISAN ROH KUDUS (BAPTISAN DENGAN ROH KU...: "TEOLOGI BAPTISAN ROH KUDUS (BAPTISAN DENGAN ROH KUDUS) MENURUT IMAN KRISTEN"

Apa itu baptisan Roh Kudus?

Apa itu baptisan Roh Kudus?




Jawaban: Baptisan Roh Kudus dapat didefinisikan sebagai karya Roh Allah yang mempersatukan orang percaya dengan Kristus dan dengan orang-orang percaya lainnya dalam Tubuh Kristus pada saat orang itu diselamatkan. 1 Korintus 12:12-13 dan Roma 6:1-4 adalah ayat-ayat utama dalam Alkitab yang mengajarkan doktrin ini. 1 Korintus 12:13 mengatakan, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” Roma 6:1-4 mengatakan, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya? Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Meskipun Roma 6 tidak secara khusus menyebut Roh Allah, bagian Alkitab ini menggambarkan kedudukan orang percaya di hadapan Allah dan 1 Korintus 12 memberitahu kita bagaimana hal itu terjadi.

Tiga fakta perlu diperhatikan untuk menguatkan pengertian kita akan baptisan Roh. Pertama, 1 Korintus 12:13 dengan jelas menyatakan bahwa semua telah dibaptis sama seperti semua telah diberi minum (berdiamnya Roh Kudus). Kedua, Alkitab tidak pernah menasehati orang-orang percaya untuk dibaptiskan dengan/dalam/oleh Roh. Ini menunjukkan bahwa semua orang percaya telah mengalami pelayanan ini. Akhirnya, Efesus 4:5 nampaknya menunjuk pada baptisan Roh. Jikalau ini memang demikian, baptisan Roh adalah kenyataan hidup dari setiap orang percaya, sama seperti, ”satu iman” dan ”satu Bapa.”

Sebagai kesimpulan, baptisan Roh Kudus menggenapi dua hal, (1) menyatukan kita dengan Tubuh Kristus, dan (2) mengaktualisasikan penyaliban kita bersama dengan Kristus. Berada dalam tubuh Kristus berarti kita bangkit bersama dengan Dia dalam hidup yang baru (Roma 6:4). Kita perlu menggunakan karunia rohani kita untuk memastikan bahwa tubuh itu berfungsi sebagaimana mestinya seperti yang dijelaskan dalam 1 Korintus 12:13. Mengalami baptisan dari Roh yang sama menjadi dasar untuk memelihara kesatuan gereja seperti yang dikatakan dalam Efesus 4:5. Menjadi sama dengan Kristus dalam kematian, penguburan dan kebangkitanNya melalui baptisan Roh menjadi dasar untuk mewujudkan pemisahan kita dari kuasa dosa dan untuk kita berjalan dalam hidup yang baru (Roma 6:1-10; Kolose 2:12).

China Watch: One Church Two Systems?

China Watch: One Church Two Systems?

Deng Xiao Ping’s “One Country Two Systems,” to this day, is still being acclaimed by Beijing as a stroke of genius. Under that overriding policy, Hong Kong was returned to China in 1997. The process was peaceful, to say the least. Since then both sides are affecting and influencing each other – for good and for bad. And both sides have coexisted.
Tue, Jul. 20, 2010 10:35 AM PT

Deng Xiao Ping’s “One Country Two Systems,” to this day, is still being acclaimed by Beijing as a stroke of genius. Under that overriding policy, Hong Kong was returned to China in 1997. The process was peaceful, to say the least. Since then both sides are affecting and influencing each other – for good and for bad. And both sides have coexisted. Beijing has always hoped that the same policy may eventually lure Taiwan to “come to the embrace of the Motherland.” But it is actually economic opportunities that are pulling China and Taiwan closer to each other by the day. And now it appears, it could also be this sort of pragmatism that is causing China’s long and bitterly divided official Three Self Church and the unregistered House Church to join hands. On Easter Sunday, the recently “eradicated” All Nations Mission Church in Shanghai was somewhat “resurrected.” More than 500 of its members met for an afternoon of praise and worship, preaching of the Word by their own Senior Pastor Cui, choir, offering and benediction, all conducted without any disturbance from the local authorities. Everything was back to normal – well, almost. Except that this largest urban house church in China was not meeting in its own premises. Rather, they were hosted in an official Three Self Church in downtown Shanghai. Pastor Cui was adamant to clarify: “We have not caved in and joined the Three Self. We are just using a property that belongs to God and the people.” Since the closure of his church, Cui has gone on a 40 days water-only fast. He has lost 22 kg. He was physically weak. But his members could all tell: “Our Pastor is spiritually stronger and deeper!” This joint use of Three Self churches was actually first proposed to Pastor Cui from a high official of Shanghai. He stressed to Cui that old church buildings that were returned to Three Self were originally built and dedicated to God by western missionaries. The new ones built were mostly from government funding. “There is no reason why only Three Self should have exclusive use of such church buildings and properties.” This “creative thinking” is in fact becoming popular in China nowadays. “Beijing is soon to recognize the House Church movement,” has been widely circulated. And in practice, a number of house churches in the capital are already meeting regularly in Three Self buildings on Sunday afternoons and evenings. “We run our own show,” a Beijing house church leader told us. “They just open the door and lock up afterward. We don’t pay rent. They don’t interfere with what we do. We are still an unregistered house church.” Another house church in the south outgrew their Three Self landlord. “We are now in dialogue with them that we use the building on Sunday mornings. They take the afternoons.” This outlandish proposal was not outright rejected, that we know. I also heard that the local religious affairs bureau had stayed out of the discussion, “leaving it to the Christian churches to resolve their own internal issues.” There are several reasons for this new twist. First, harmony is the all-important national drive of today’s Beijing. Three Self, ultimately a Party organ, must have been instructed to develop better harmony with the house church. Secondly, it is generally anticipated that Beijing might soon recognize the numerous house churches in the land. Last November it closed down a house church in the city, yet in April, the same house church was highlighted in the China Daily’s article, House Churches Thrive in Beijing! Thirdly, today’s leadership of both branches of the Church in China is younger and more tolerant. They do not carry the weighty, historical baggage of their predecessors. Lastly, market place people, especially professionals and business leaders, are joining both churches. They are urging for “better use of church buildings.” Many of them are community representatives serving in governmental bodies. They have clout, so to speak. I asked Pastor Cui, “After all these years of hostility, do you think this ‘One Church Two Systems’ may just work?” “God has led us thus far...And He knows best.” That was his calm and confident answer.

About Dr. David Wang: Dr. David Wang is President Emeritus Asian Outreach Internationa and a specialist on church and missions in China, and author of over 20 books including Still Red. From Asian Report, issue 300, July and August 2010, Copyright 2010. Reprinted with the permission of Asian Outreach. All rights reserved.

How Do We Pray for China?

How Do We Pray for China? | Gospelherald.net-Chinese Christian News Online  

Do You Buy Christian?


Do you buy Christian ?
By Ryan Reeves

When was the last time you made a conscious decision to make a sure your money was spent supporting another Christian? If you can answer that question at all, you are probably ahead of most of us. There was a time when people understood the impact their spending had. Years ago the concept of spending your money close to home was understood to be a vital part of supporting your local community. In the US it was especially important to buy products that were made in the USA. In today's so called global economy that concept has been nearly erased. We are more than willing to drive across the metro area to save some cash on our new television, and many of us look for something on eBay® before we even walk into a local retailer. We even ship our jobs to other countries because it helps us reduce costs, raise profits, and supposedly lower prices. That being said, I bet you think I am crazy for asking if you buy Christian.
I am a bit crazy, but that's ok. Truth is - I am just crazy enough to raise a topic that could not only help Christians all over our world but will, no doubt, draw fire from certain people opposed to the idea. I'm ok with that because those are the same people who would just assume Christians keep their mouths shut and their crazy morals and ideals to themselves.
All I want to do is make you think; actually, I want you to imagine. Imagine the impact your support could have on the Christian economy. Yes, I said the Christian economy. There is an economic cycle for just about every social group in society, and Christians are no different than the rest. At its simplest form it's as basic as money in versus money out. In reality, it is much more important than that.
Let me explain a bit more about what I mean by the term Christian economy. An individual Christian makes a living - earning income and spending it according to how the individual sees fit. The money they earn then goes to various other people and organizations. Hopefully, that Christian gives some of his income to support his own social group (other Christians). He might give it to his church, another Christian organization, or purchase a ticket to a Christian concert. The portion of the money the individual either spends or gives to other Christians stays within the Christian economy. It then goes to support others in various ways and ultimately, ends up being spent again adding to another individual or organization's income. You might also call it the life cycle of the Christian dollar. As long as that dollar stays in the hands of Christians, it is alive and being used to benefit the entire group. The money leaving the Christian economy (which is the entire portion of an individual Christian's income not spent with or donated to other Christians) is essentially dead to the body of Christ.
Let's make a couple of comparisons. You have an extra hundred dollars and you decided to give that money to your local church. That money then goes to purchase various things your church needs (many of which are purchased from other Christian organizations) and to pay the staff members. Let's not forget to mention that all of that is done to equip the church to be able to serve individuals. Your money is alive and kicking. After it finally reaches another individual Christian's pay check, some of that money is invested again into the Christian economy. On the flip side, say you use that extra hundred to buy a new cell phone. You give it to your wireless carrier who pays their vendors, their employees, and their owners. You can hope someone along the way is a Christian and some of it might find its way back into our economy, but there is no measurable chance of that.
The difference between donating the money and spending it is obvious. Donating the money is better for our "Christian economy." However, we can't donate all of our money. So, let's look at a better way to spend it. Let's say you really need that new cell phone, and you decided to buy that phone from the guy at church who happens to earn his living selling phones for a wireless company. In that case you got the phone you needed, and he made a commission for helping you buy it. You helped another Christian earn a living. In fact, your friend probably earned between five and fifty dollars on your purchase depending on the circumstances. Let's just call it twenty to make it easy. The twenty dollars is now still alive in the Christian economy and is useful for the Kingdom of God. To take it one step further, what if you spent that hundred dollars at a business owned and operated by another Christian? Then you not only helped the owner but the other Christians he most likely employees and so on, all the way down the line. You actually, by spending that money with a Christian business, just put part of it in the offering at the businessman's church. You did the same for the churches of any Christians the business employs, as well.
There is also more at stake than just the local economic success of Christians. There are people all over our world who need to hear about Jesus, and unless someone pays for our mission trips and church plants, they will never hear the good news of Christ. Who funds the outreach efforts of missionaries? It isn't GoDaddy.com®, and we can be certain that Nike® isn't paying the salaries of our pastors. Don't look at Uncle Sam, either. He isn't footing the bill so the Gideons can send ten thousand Bibles to Russia. It's Joe Christian. Who knows? He might even own his own plumbing company; so next time you need your drain fixed, shouldn't you call him instead of some random plumber?
I hope you are now imagining the potential impact your spending can have. Like I said earlier, it is as simple as money in versus money out. The more important thing is what we do with the money rather than how much money we have. The question is how are we using the money we are given? Consider the teaching Jesus gave his disciples in Luke 16. The parable is about a shrewd manager. You can read it here. This is not an easy parable to understand, but the message Jesus gives us is clear. How we spend our money matters, and we should use the money we have with heaven in mind.
I hope that you will join me in an attempt to bolster the Christian economy. This is a real opportunity to impact our world in the way Jesus commanded us. The more money we consciously invest into our economy with Christian businesses and business people, the more people they employ, and the more money that is given to our churches and ministries. The bottom line is more people are reached for Christ.
Here are a few suggestions on what we can do. Let's start with the big things, making certain that we get these correct. Take a look at your major purchases such as homes, cars, investments, insurance, and education. Make a commitment to only do business with Christians in these areas first. Next time you buy a car, purchase it from a Christian car salesman, same thing with a home, mortgage, or insurance. If you are not sure where to find a Christian business person, just ask around at church. If that doesn't work, look in the yellow pages for a professional who identifies him/herself as a Christian. You can also look for Christian businesses online. Because I am so passionate about this, my organization, Men of Jesus, is starting to build an online directory of Christian businesses and business people. You can find it at www.menofjesus.org.
If we all make a commitment to use our spending power wisely with our large purchases, the little ones will become easier as well. If you already have a Christian insurance agent, then next time you get your hair cut find a Christian hair dresser or barber and tell them why you are doing business with them. If you are willing to spend the time and effort, I bet you can find a Christian businessperson for just about everything you need.
Remember buying Christian is about supporting our faith. It's about having a common purpose and being faithful managers of our blessings. It requires a conscious decision and a pro-active approach. Most importantly it is about equipping the body of Christ to reach people and spread the good news. I bet you never thought you could do that by spending money.

BIBLICAL BEHAVIOR MODIFICATION

BIBLICAL BEHAVIOR MODIFICATION 
By Steve Beyer - www.BiblicalMind.com

Psalm 131 begins "Lord, my heart is not proud; my eyes are not haughty. I don't concern myself with matters too great or too awesome for me to grasp." The Psalm was written by King David and it is only three verses long.
He continues, "Surely, I have behaved and quieted myself, as a child that is weaned of his mother: my soul is even as a weaned child." The Hebrew language paints a picture of how a believer behaves and quiets himself. The word means to level out or equalize. It implies an adjustment that works as a counterbalance and its use in this context is evidence God has not abandoned us to try to maintain a behavior about which we know nothing.
In the subtle beauty of the language, this passage reveals the Power at work in our hearts that compels us to make a conscious choice to shift our focus off ourselves and on to God. The word the Hebrew writers used as "behave" is translated "compare" in Proverbs 3:15 when wisdom is described. "All the things we can desire are not to be compared to her (wisdom)." Behaving encompasses the act of comparison! The lightning computations of our mind can balance our behavior by comparing it to a blueprint that God makes available to us moment by moment through His indwelling Spirit.
Another picture is drawn for us in Isaiah 28:25 using the Hebrew word for "behaved." A man plowing his field has made that field "plain" and ready for sowing by leveling it. That "plain" level field represents every believer whose heart is a place where God can plant and then gather the fruits of a surrendered heart.
In addition to behaving himself, the psalmist "quieted" himself. The word quieted holds another key to the mindset of the believer. "Quieted" is translated "rest" in Psalm 37:7. "Rest in the Lord and wait patiently for him." It is also translated as "wait" in Psalm 62:5. "My soul, wait thou only upon God; for my expectation is from Him."
As a child that is weaned, the believer has ripened into a mature person who makes a willful choice to measure and adjust his behavior according to the benchmark set by the Holy Spirit who dwells within. Now that's behavior modification!

Most Christians Cannot Explain their Faith

The faith of most Christians, even that of many pastors, will not stand up to intellectual scrutiny, according to renowned apologist Josh McDowell.
This is a concern because pastors’ inability to present biblical truth comprehensibly and relevantly has led to children from Christian families leaving the church, research has shown.
In the United States, the age at which nearly all such children leave church has decreased to 18 years.
Not even the children of many successful ministers are spared.
McDowell made his comments at a recent networking dinner among various men’s ministries organized recently by Men-in-Covenant. MiC is the men’s ministry of Covenant Evangelical Free Church.

He recalled speaking with the pastor of one of the largest U.S. churches, a man known for his expository preaching. Confiding in him, the pastor said their church was losing its youth right after high school graduation.

In his 50 years of ministry, McDowell has asked several thousand pastors and leaders how they could be certain Jesus Christ said “I am the truth” and not one of many truths or a truth.

“Not one person has ever given me an intelligent, biblically-based answer,” said the author of The New Evidence that Demands A Verdict.

During the past six years, he asked hundreds of Christians and leaders why they see themselves as Christians. Again no one gave him an "intelligent" answer.

In the past 17 years, he has asked over 4,000 pastors, leaders and parents why they believe the Bible is true.

A mere six “came close to giving an intelligent answer,” McDowell noted.

“If anything is based upon truth, it’s the Christian faith,” he said. “Christians who do not know why they have faith or believe have a very difficult time expressing themselves to others.

"The saddest thing is people come to me and say, ‘What’s the answer?’"

“I say, ‘There’s no answer… There are hundreds of answers.’"

Most Christians, even some pastors, don’t even know one. On the other hand, the apologist said he could give 50 reasons for his belief that the Bible is true.

Ninety-five percent of Christians gave disappointing responses when asked why they believe Jesus is the Son of God.

Asked why the Bible is true and historically reliable, Christians replied that it was what they had been taught by their church or parents.

A common response that most Christians gave to both questions was that it is “what I believe.”

McDowell responded: “That’s voodoo thinking. Where did we ever get that crazy idea that something is true just because we believe it?

“If that is true, then there will never be heresy. Everybody would be right.”

On one occasion, 13 youth pastors at a large convention were unable to reasonably answer the apologist’s question.

Finally one young person stood up, walked toward him and told him he knew the answer.

The young man promptly held up his Bible and said, “Because I believe it.”

And to McDowell’s dismay, all the youth pastors applauded him.

McDowell said, “Young man, do you know the difference between you, me and the majority of Christians in the world?

“To you, it is true because you believe it. For me, I believe it because it is true.”

Another response the apologist received was: Because I have faith.

He commented, “Where did we ever get the crazy idea that faith makes something true? That’s idiotic. That’s so unbiblical you can call it heresy.

“God doesn’t use faith to create truth. He uses truth through the Holy Spirit to create faith.”

Christians, the apologist stressed, are called to explain their faith when asked. They are set free by the faith in the truth, he expressed, referring to John 8:32.

Yet others say Christianity is true because Jesus changed their lives.

Even this will not stand up to intellectual scrutiny, McDowell argued.

“Lies change lives; cults change lives,” he said.

To make such an appeal is “not the essence of Christianity,” the author emphasized.

McDowell said: “We owe it to ourselves, we owe it to our children, we owe it to our neighbors, we owe it to the lost, to tell them not just what we believe but why do we believe it.”

Edmond Chu -Christian Post Correspondent

Langit Baru dan Bumi Baru

Langit Baru dan Bumi Baru 
 Nats: wahyu 21:1-8

" Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertami telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi. " Wahyu 21:1

Bagaimanakah kita memahami janji-janji Allah dan berbagai nubuatan yang terdapat dalam Kitab Wahyu ? Kitab wahyu merupakan kitab yang banyak memakai bahasa figuratif untuk menyatakan nubuatan tentang masa depan orang percaya dan masa depan dunia ini. Kita tidak bisa memahami makna kitab Wahyu sebagaimana memahami sebuah kitab Undang-undang. Bahasa ilmu hukum adalah bahasa explisit (tersurat). bahasa harafiah dimana semua pernyataan dijabarkan dengan bahasa yang jelas, lugas sehingga memperkecil kemungkinan memiliki makna ambivalen (makna yang lebih dari satu), bukan pula bahasa matematis ketika dinyatakan tentang Kerajaan 1000 tahun serbagai bilangan eksak 1000, sebab ternyata Alkitab juga menyatakan bahwa 1 hari = 1000 tahun dan 1000 tahun = 1 hari. Allah yang adalah pencipta ruang dan waktu tidaklah mungkin dibatasi oleh ruang dan waktu itu, sebab Allah adalah Allah yang kekal. Kitab Wahyu lebih banyak memakai bahasa implisit (tersirat) sehingga untuk memahami makna ayat-ayat dalam kitab Wahyu memerlukan penggalian ruang lingkup (konteks) dan kerangka berpikir teologis yang utuh. Jika tidak, maka kita makin jauh dari makna sesuai kebenaran sesungguhnya.

Dimanakah langit baru dan bumi baru dinyatakan ? Penulis yakin letaknya pasti bukan di jalan Holis Bandung! Bukan pula di Jerusalem secara geografis, meski dikatakan itu adalah jerusalem Baru. Kitab Wahyu dalam hal ini membicarakan kemulian Allah yang dinyatakan setelah penghakiman terakhir. "Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu." (Wahyu 21:4)

Allah yang adalah Alga dan juga Omega, yang memulai dan yang akan mengakhiri sejarah kehidupan manusia yang sarat dengan dosa dan penderitaan. Allah akan menciptakan dunia baru yang penuh sukacita dan kemuliaan. Untuk siapakah semuanya itu ? Untuk orang-orang yang mengikat perjanjian denganNya, yakni setiap orang yang percaya kepadaNya, tetapi bagi mereka yang tidak percaya berarti tidak berada dalam bagian perjanjian ini, mereka akan mengalami penghukuman yang kekal (Wahyu 21:8). Anthony Hockema dalam artikel tentang ordo salutis (the orde of salvation, born again, repentance, sanctification and glorification) menyebutkan bahwa langit baru dan bumi baru adalah pernyataan the Glorification, yakni kemuliaan dalam kekekalan yang akan dianugerahkan kepada orang-orang percaya

Apakah hari ini anda telah berada dalam perjanjian Allah itu ? Kita semua tidak ada yang layak, kita semua telah berdosa dan penuh cacat cela, kita semua hidup dalam obsesi dan ambisi yang banyak memakan korban bagi orang-orang terdekat kita. Namun Allah dalam kasih dan kesabaraNya sampai hari ini, selalu berinisiatif mengulurkan tangan lebih dulu untuk menuntun orang berdosa kepada sebuah pertobatan agar masuk dalam perjanjian itu. Maukah Anda ? Credo et Intelligam .. I believe in order to understand.

Sumber dari: Warta Gereja GII Dago -25/07/10