Ketika Tuhan-Agama Tak Berdinding

Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat—yang merupakan revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969—telah ditandatangani.


Selanjutnya, surat yang lebih dikenal sebagai sumber polemik ihwal pendirian rumah ibadat—termasuk yang memicu pelarangan ibadat—itu akan melalui tahap implementasi di lapangan.
Seperti sudah diduga sebelumnya, reaksi yang terjadi adalah beberapa rumah yang dijadikan tempat ibadah ditutup oleh warga. Penutupan lebih karena tidak dipenuhinya persyaratan sesuai SPB.
Secara tidak langsung tersirat bahwa terpenuhinya syarat sesuai SPB lebih tinggi nilainya daripada ibadat itu sendiri. Substansi ibadat kepada Tuhan mengalami degradasi, tidak lebih penting dari persyaratan pendirian rumah ibadat.

Transformasi Ibadat

Terlepas dari perdebatan soal perlu tidaknya izin pendirian rumah ibadat (dalam praktiknya mencakup pula izin beribadat), sisi positif kasus ini membuka mata perihal keberagamaan baru. Baru di sini bukan berarti pertama kali ada, tetapi baru dalam arti pemeluk agama disadarkan akan ketidakterbatasan Tuhan yang menjadi tujuan ibadat, yang mestinya juga terbawa dalam ketidakterbatasan cara beribadat kepada-Nya.

Mereka yang menentang SPB sebagai revisi SKB mengatakan bahwa ibadat tidak perlu memakai izin. Setiap pemeluk agama berhak untuk membangun rumah ibadat dan melaksanakan ibadat sesuai keyakinannya, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Di satu sisi pernyataan ini benar dan berupaya meletakkan ideal beragama di tengah masyarakat plural. Namun di sisi lain juga menjadi absurd karena dengan menolak syarat izin pendirian rumah ibadat yang sudah ditetapkan pemerintah, justru telah mengingkari sifat ketidakterbatasan Tuhan—yang berizin atau tidak, memenuhi syarat atau tidak—tidak terpengaruh olehnya. Ketidakterbatasan Tuhan mestinya akan membuka peluang cara beribadat baru kepada-Nya.

Bahwa sekalipun ibadat harus mempunyai izin dengan tanda tangan ber-KTP dari jemaah sebanyak 90 orang dan dari masyarakat sekitar 60 tanda tangan sesuai syarat SPB, menjadi absurd jika disandingkan dengan sifat ke-Maha-an Tuhan tadi. Izin memang bisa menghambat pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat dengan cara dan kebiasaan yang sudah berjalan. Tapi peraturan yang dirasakan membatasi itu mestinya justru membuka cara beribadat baru yang tak habis-habisnya, sesuai sifat-Nya yang Maha Tak Terbatas.

Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat terhambat soal izin di atas. Yang terhambat hanya pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat sebagai kebiasaan selama ini, namun tetap tak terbatas dalam cara beribadat baru, yang bebas dari ’terkondisikan’ untuk meminta izin seperti disyaratkan.


Tuhan, rumah ibadat dan cara beribadat kepada-Nya bebas dari aturan politik dan legitimasi sosial. Itu semua bukan soal perlu atau tidak perlu izin, tetapi memang substansinya tidak mengenal izin karena sifatnya yang transenden, rohaniah, bahkan imaniah yang undang-undang pun tak bisa menjangkaunya.

Dengan membuka wawasan dan kesadaran baru tentang sifat kemahaan Tuhan, setiap upaya manusia untuk membatasi pendirian rumah ibadat (yang notabene diyakini juga rumah untuk bertemu dengan Tuhan, bahkan "Rumah Tuhan") hanya menjadi penghambat kecil, bahkan akan tergerus oleh sifat Maha Tak Terbatas. SPB tidak lagi dipandang sebagai hambatan karena Tuhan akan membuka cara beribadat yang baru dan kreatif. Sebuah transformasi ibadat.


"Tuhan Tanpa Rumah"
Pascapenandatanganan SPB yang bisa dilakukan ialah membuka seluas mungkin cara beragama baru yang tidak terbentur pada soal izin mendirikan rumah ibadat. Dengan kata lain, upaya matematikanisasi kegiatan spiritual—dengan syarat 90 jemaat ber-KTP dan 60 orang lingkungan sekitar sebagai ’baptis politik’ pemerintah dan ’baptis sosial’ warga sekitar—agar ibadat aman dan sah, perlu disikapi dengan membuka pintu teologi baru atas pendirian ’rumah Tuhan’ dan rutinitas beribadat kepada-Nya.

Sebetulnya tidak ada yang hilang, sekalipun rumah ibadat tidak boleh didirikan atau bahkan yang sudah berjalan ditutup. Meski rumah ibadat diidentikkan sebagai ’rumah Tuhan’, penutupan rumah ibadat tidak berarti ’Tuhan kehilangan rumah’. Justru sebaliknya, pendirian rumah ibadat termasuk pelarangan dan penutupan hanya karena tidak memenuhi syarat sehingga tak berizin, mengingatkan kembali tentang substansi ’Tuhan tanpa rumah’.

Meminjam terminologi Kristen, di mana Anak Manusia (baca: Tuhan) tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya. Jangankan rumah ibadat, rumah-Nya, bantal saja tak punya. Teologi ’Tuhan tanpa rumah’ ini justru membebaskan agama dan umat untuk mencari cara ibadat yang tak terbatasi oleh bangunan dan ritual-ritualnya.

Rumah ibadat adalah seluruh alam semesta, yakni di mana saja dan ritual-ritual peribadatan langsung terefleksikan pada keseharian hidup umat beragama dari hati, pikiran ke perilaku sebagai jantung dan etalase ibadat itu sendiri. Selama ini telah terjadi institusionalisasi ibadat, bahwa ibadat hanya dalam rumah ibadat saja, di luar itu dianggap belum atau tidak melakukan ibadat.


Agama tanpa tembok

Dalam konteks agama, matematikanisasi izin pendirian dan kegiatan peribadatan di dalamnya, justru membuka peluang lahirnya agama tanpa tembok (religion without wall) sebagai konsekuensi teologi ’Tuhan tanpa rumah’. Hal mana sejalan dengan prinsip-prinsip universal agama bahwa agama bukan sekadar ditandai dengan bangunan fisik atau ritual ibadat. Tetapi agama adalah organisme hidup, kumpulan mereka yang percaya kepada yang transenden. Primary concern agama dalam hal ini ialah manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dan bukan semata tempat ibadat dan simbol-simbol keagamaan.

Dakwah agama dengan demikian juga tidak terbatas pada komunitas jemaah lokal (at stated times), tetapi dengan terbebas dari sindrom pendirian rumah ibadat, agama justru dibukakan ladang dakwah baru di mana saja. Sikap agama terhadap SPB yang mensyaratkan pendirian rumah ibadat dengan demikian seharusnya disikapi kebalikannya, yakni dengan menerima tanpa syarat (unconditional acceptance).

Agama tanpa tembok dengan demikian menjadi visi dan cara baru beribadat. Ia lebih mendorong praktik agama yang lebih inklusif dibanding sebelumnya yang tetap mempertahankan etalase rumah ibadat, simbol dan ritual yang eksklusif.

Inilah pokok terpenting dari polemik SPB. Tidak perlu dikhawatirkan bahwa SPB akan melarang hak beribadah seseorang. Meski fenomena rumah ibadat ditutup dengan alasan tidak memenuhi persyaratan SPB, hal ini justru menjadi batu penguji tingkat keberagamaan seseorang.

Kita tahu bahwa memeluknya seseorang kepada suatu agama lebih karena panggilan yang bersifat transenden yang diyakininya, bahwa dengan percaya kepada agamanya inilah ia menjadi orang yang beruntung dan diselamatkan. Ini berarti memeluk agama membutuhkan a Call (sebuah panggilan). Dengan tidak adanya tempat ibadat, keberagamaan seseorang justru dikondisikan untuk mendahulukan a Call-nya (panggilan kepada agamanya) daripada sekadar tersedianya a Wall (tembok rumah ibadat).

Sisi positif SPB ialah kemungkinannya melahirkan pola keberagamaan baru yang kuat karena penekanan pada a Call dan bukan sekadar a Wall. Panggilan agama yang tertoreh di relung hati yang paling dalam yang memancar pada kehidupan sehari-hari dan bukan sekadar pergi ke rumah ibadat dengan mengusung simbol agama dan ritualismenya yang rentan.

Stevanus Subagijo Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Sumber: Kompas

No comments:

Post a Comment