Profetik Movement

Prophetic Movement
Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus", lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi
Mat 16:4

Untuk pembaca :Gerakan Profetik adalah, gerakan kenabian , sebuah aliran kegelapan, dari si jahat yang dipenuhi rasul-rasul palsu, nabi-nabi palsu, hyper-bidah, penyembuh palsu, dan serakah, lapar uang,yang semuanya dibayangi oleh setan dan kekuatan jahat itu.

Dari Gerakan Nabi datang doktrin setan seperti: manusia adalah 'tuhan' atau 'Allah' Yesus menanggung sifat Setan, berdosa, dan harus dilahirkan kembali di neraka; Allah adalah tunduk pada keinginan manusia dan nafsu,/ hasrat; pengalaman kunjungan ke surga dan neraka; fabrikasi dan berbaring / berpegang pada tanda-tanda dan keajaiban ; mimpi-mimpi diluar Alkitab, visi, dan wahyu; manifestasi orang yang dipenuhi; kemiskinan kemakmuran, dan pertemuan satu- satu dengan malaikat, nabi-nabi Perjanjian Lama, Perjanjian Baru rasul, dan 'Yesus Kristus '.

Banyak klaim dari Gerakan Nabi bahwa mereka hidup bebas sakit , bebas penyakit, dan bahkan bebas dosa (meskipun 1 Yohanes 1:8-10. Perhatikan kata 'kami' dalam ketiga bagian). Tapi satu hal mereka tidak akan hidup bebas dari adalah bebas dari usia tua dan kematian.

Sekarang karena banyak Gerakan nabi maka diantara kelompok hyper-Karismatik bergabung menjadi satu, mereka membawa injil palsu mereka sendiri, roh palsu, dan 'Yesus Kristus,' palsu. yang menyamar diri sebagai malaikat terang, dan didukung oleh rasul-rasul palsu, pekerja curang - pria dan wanita yang muncul sebagai pelayan kebenaran (2 Korintus bab 11).

Dalam 2 Timotius 3:12-13, Rasul Paulus memperingatkan Timotius dengan penuh kasih sayang tentang apa yang diharapkan dari dunia dan serigala berbulu domba:

memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam kristus yesus akan menderita aniaya. Sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat , mereka menyesatkan dan disesatkan.

Seperti halnya dengan setiap sistem kepercayaan yang tidak dari Allah, Gerakan Nabi yang jatuh lebih dalam kepada penipuan dan delusi. yang bangunan-bangunannya hancur; buah-buahnya busuk dan tengik; air nya stagnan, dan udara yang terkontaminasi dan beracun untuk bernapas.

Gerakan Nabi hadir jelas dan menyajikan BAHAYA untuk kesejahteraan mental, fisik, dan rohani orang percaya, serta orang-orang yang mencari Yesus Kristus yang sebenarnya. Kesedihan dan kerusakan yang disebabkan oleh para pemimpin dan pengikutnya kepada orang-orang dan pengikut Kristus adalah luar biasa sekali.

Oleh karena itu, jangan terkejut dengan apa slithers dan spews dari mulut Gerakan Nabi. Yang terburuk belum datang.

sumber cerita dari : Bud press, Christian Research Service 

Siapakah anti Kristus?

Ada banyak spekulasi mengenai identitas dari anti Kristus. Beberapa sasaran yang populer adalah Vladimir Putin, Mahmoud Ahmadinejad dan Paus Benediktus XVI. Di Amerika Serikat, mantan presiden Bill Clinton, presiden sekarang George Bush dan calon presiden Barack Obama adalah yang paling sering disebut. Jadi siapakah anti Kristus dan bagaimana kita dapat mengenalinya?

Alkitab sebetulnya tidak memberikan sesuatu yang spesifik mengenai dari mana anti Kristus akan datang. Banyak sarjana Alkitab yang berspekulasi bahwa dia akan datang dari konfederasi sepuluh negara dan/atau dari kekaisaran Romawi yang lahir kembali (Daniel 7:24-25; Wahyu 17:7). Yang lain melihat dia sebagai orang Yahudi karena dia mengaku sebagai Mesias. Semua ini hanyalah spekulasi semata-mata karena Alkitab tidak secara khusus mengatakan dari mana anti Kristus akan datang atau apa rasnya. Suatu hari anti Kristus akan diungkapkan. 2 Tesalonika 2:3-4 memberitahukan bagaimana kita dapat mengenali anti Kristus: “Janganlah kamu memberi dirimu disesatkan orang dengan cara yang bagaimanapun juga! Sebab sebelum Hari itu haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa, yaitu lawan yang meninggikan diri di atas segala yang disebut atau yang disembah sebagai Allah. Bahkan ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah.”

Kemungkinan besar kebanyakan orang yang masih hidup ketika anti Kristus terungkap akan sangat kaget dengan identitasnya. Anti Kristus mungkin saja hidup pada saat sekarang ini. Martin Luther yakin bahwa Paus pada zamannya adalah anti Kristus. Sejauh ini semuanya salah. Kita seharusnya berhenti berspekulasi dan memusatkan perhatian pada apa yang sebetulnya dikatakan oleh Alkitab mengenai anti Kristus. Wahyu 13:5-8 mengatakan, “Dan kepada binatang itu diberikan mulut, yang penuh kesombongan dan hujat; kepadanya diberikan juga kuasa untuk melakukannya empat puluh dua bulan lamanya. Lalu ia membuka mulutnya untuk menghujat Allah, menghujat nama-Nya dan kemah kediaman-Nya dan semua mereka yang diam di sorga. Dan ia diperkenankan untuk berperang melawan orang-orang kudus dan untuk mengalahkan mereka; dan kepadanya diberikan kuasa atas setiap suku dan umat dan bahasa dan bangsa. Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih.”






Apa beda antara Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali?

Apa beda antara Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali?

Jawaban: Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kristus yang Kedua Kalinya sering dicampur adukkan. Kadang-kadang sulit untuk menentukan apakah Kitab Suci berbicara mengenai Pengangkatan Orang Percaya atau Kedatangan Kedua Kali. Namun demikian, dalam mempelajari nubuat-nubuat Alkitab mengenai zaman akhir, adalah penting untuk membedakan antara keduanya.

Pengangkatan Orang Percaya adalah saat ketika Yesus Kristus datang kembali untuk memindahkan gereja (semua orang yang percaya dalam Kristus) dari bumi ini. Pengangkatan Orang Percaya digambarkan dalam 1 Tesalonika 4:13-18 dan 1 Korintus 15:50-54. Orang-orang percaya yang sudah meninggal dunia akan mengalami kebangkitan tubuh, dan bersama-sama dengan orang-orang percaya yang masih hidup akan bertemu dengan Tuhan di angkasa. Hal ini akan terjadi dalam sekejap mata. Kedatangan Kedua Kali adalah saat di mana Kristus datang kembali untuk mengalahkan anti Kristus, menghancurkan kejahatan dan menegakkan Kerajaan Seribu Tahun. Kedatangan Kedua Kali digambarkan dalam Wahyu 19:11-16.

Perbedaan penting antara Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali adalah sbb:

(1) Pada saat Pengangkatan Orang Percaya, orang-orang percaya akan bertemu dengan Tuhan di angkasa (1 Tesalonika 4:17). Pada Kedatangan Kedua Kali orang-orang percaya kembali ke dunia bersama dengan Kristus (Wahyu 19:14).

(2) Kedatangan Kedua Kali terjadi setelah Kesengsaraan Besar yang mengerikan (Wahyu pasal 6-19). Pengangkatan Orang Percaya terjadi sebelum Kesengsaraan Besar (1 Tesalonika 5:9; Wahyu 3:10).

(3) Pengangkatan Orang Percaya adalah orang-orang percaya dipindahkan dari bumi sebagai tindakan pembebasan (1 Tesalonika 4:13-17; 5:9). Kedatangan Kedua Kali termasuk disingkirkannya mereka yang tidak percaya sebagai tindakan penghakiman (Matius 24:40-41).

(4) Pengangkatan Orang Percaya bersifat “rahasia” dan dalam sekejap mata (1 Korintus 15:50-54). Kedatangan Kedua Kali akan kelihatan kepada semua orang (Wahyu 1:7; Matius 24:29-30).

(5) Kedatangan Kristus yang Kedua Kali tidak akan terjadi sampai beberapa kejadian akhir zaman terjadi (2 Tesalonika 2:4; Matius 24:15-30; Wahyu pasal 6-18). Pengangkatan Orang Percaya sudah dekat, dapat terjadi kapan saja (Titus 2:13; 1 Tesalonika 4:13-18; 1 Korintus 15:50-54).


Mengapa penting untuk membedakan Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali?

(1) Kalau Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali adalah peristiwa yang sama, orang-orang percaya harus melalui masa Kesengsaraan Besar (1 Tesalonika 5:9; Wahyu 3:10).

(2) Kalau Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali adalah peristiwa yang sama, kembalinya Kristus tidak akan terjadi dalam waktu dekat … ada banyak hal yang harus terjadi sebelum Dia datang kembali (Matius 24:4-30).

(3) Dalam menggambarkan masa Kesengsaraan Besar, Wahyu 6-9 tidak pernah menyebut gereja. Selama masa Kesengsaraan Besar – juga disebut sebagai “masa kesusahan Yakub” (Yeremia 30:7) – Allah akan kembali memberi perhatian utama kepada Israel (Roma 11:17-31).

Pengangkatan Orang Percaya dan Kedatangan Kedua Kali sama namun merupakan kejadian yang berbeda. Keduanya adalah peristiwa akhir zaman. Namun demikian, ada penting untuk mengenali perbedaannya. Secara ringkas, Pengangkatan Orang Percaya adalah kembalinya Kristus di awan-awan untuk memindahkan semua orang percaya dari bumi sebelum masa kemurkaan Allah. Kedatangan Kedua Kali adalah kembalinya Kristus ke bumi untuk mengakhiri Kesengsaraan Besar dan mengalahkan anti Kristus dan kerajaan dunianya yang jahat.

Apakah itu Kerajaan Seribu Tahun, dan apakah Kerajaan Seribu Tahun harus dipahami secara harafiah?

Kerajaan Seribu Tahun adalah nama yang diberikan untuk 1000 tahun pemerintahan Yesus Kristus di atas bumi. Sebagian orang berusaha menafsirkan 1000 tahun ini secara allegoris. Sebagian lainnya memahami 1000 tahun sebagai cara figuratif untuk mengatakan “masa yang panjang.” Hal ini menyebabkan beberapa orang tidak mengharapkan pemerintahan Yesus secara fisik dalam dunia ini. Namun demikian, dalam Wahyu 20:2-7, enam kali Kerajaan Seribu Tahun dikatakan secara spesifik akan berlangsung selama 1000 tahun. Kalau Allah ingin mengkomunikasikan “masa yang panjang,” Dia dapat dengan mudah melakukan itu tanpa secara eksplisit dan berulang kali menyebutkan waktu yang tepat.

Alkitab memberitahu kita ketika Kristus datang kembali, Dia akan menetapkan diriNya sebagai Raja di Yerusalem, duduk di atas tahta Daud (Lukas 1:32-33). Perjanjian-perjanjian yang tanpa syarat menuntut kedatangan Kristus kembali secara harafiah dan secara fisik untuk mendirikan kerajaanNya. Perjanjian dengan Abraham menjanjikan Israel tanah, keturunan, penguasa dan berkat rohani (Kejadian 12:1-3). Perjanjian Palestina menjanjikan Israel pemulihan ke tanah perjanjian dan penguasaan terhadap tanah itu (Ulangan 30:1-10). Perjanjian Daud menjanjikan pengampunan pada Israel, suatu cara bagi bangsa itu untuk mendapat berkat (Yeremia 31:31-34).

Pada kedatangan kedua kali, semua perjanjian ini akan digenapi saat Israel dikumpulkan kembali dari antara bangsa-bangsa (Matius 24:31), bertobat (Zakharia 12:10-14), dan dipulihkan kembali ke tanah perjanjian di bawah pemerintahan Mesias, Yesus Kristus. Alkitab berbicara mengenai keadaan pada zaman 1000 tahun itu sebagai lingkungan yang sempurna, secara fisik dan rohani. Zaman itu akan menjadi zaman damai (Mikha 4:2-4; Yesaya 32:17-18); sukacita (Yesaya 61:7, 10); penghiburan (Yesaya 40:1-2), di mana tidak ada kemiskinan (Amos 9:13-15) atau penyakit (Yoel 2:28-29). Alkitab juga memberitahu kita bahwa hanya orang-orang percaya yang akan memasuki Kerajaan Seribu Tahun. Karena itu, masa ini akan menjadi masa yang penuh dengan keadilan (Matius 25:37, Mazmur 24:3-4); ketaatan (Yeremia 31:33); kesucian (Yesaya 35:8); kebenaran (Yesaya 65:16) dan kepenuhan Roh Kudus (Yoel 2:28-29). Kristus akan memerintah sebagai Raja (Yesaya 9:3-7; 11:1-10) dengan Daud sebagai wali (Yeremia 33:15, 17, 21; Amos 9:11). Para pemimpin juga akan memerintah (Yesaya 32:1; Matius 19:28). Yerusalem akan menjadi pusat “politik” dunia (Zakharia 8:3).

Wahyu 20:2-7 hanya memberi jangka waktu yang tepat untuk Kerajaan Seribu Tahun. Tanpa ayat-ayat inipun ada tak terhingga ayat-ayat lainnya yang menunjuk pada pemerintahan Mesiassecara harafiah di bumi. Penggenapan dari berbagai perjanjian Tuhan bergantung pada kerajaan secara harfiah dan secara fisik di masa yang akan datang. Tidak ada dasar yang kuat untuk menolak pengertian harafiah mengenai Kerajaan Seribu Tahun dan bahwa jangka waktunya adalah seribu tahun.

Apa itu Pengangkatan Gereja?

Kata “pengangkatan” tidak muncul di dalam Alkitab. Namun demikian, konsep mengenai Pengangkatan diajarkan dengan jelas dalam Alkitab. Pengangkatan Gereja adalah peristiwa di mana Allah memindahkan semua orang percaya dari bumi ini untuk membuka jalan bagi penghakimanNya yang adil ditumpahkan ke bumi pada masa Tribulasi. Pengangkatan terutama dilukiskan dalam 1 Tesalonika 4:13-18 dan 1 Korintus 15:50-54. 1 Tesalonika 4:13-18 menggambarkan Pengangkatan sebagai Allah membangkitkan semua orang percaya yang telah meninggal, memberi mereka tubuh kemuliaan, dan kemudian meninggalkan dunia ini bersama dengan orang-orang percaya yang masih hidup, yang juga telah diberikan tubuh kemuliaan. “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan” (1 Tesalonika 4:16-17).

1 Korintus 15:50-54 memusatkan pada natur Pengangkatan yang bersifat mendadak dan pada tubuh kemuliaan yang akan kita terima. “Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah” (1 Korintus 15:51-52). Pengangkatan adalah suatu peristiwa yang mulia yang kita perlu rindukan. Pada akhirnya kita akan bebas dari dosa. Kita akan berada di hadapan Allah untuk selamanya. Ada terlalu banyak perdebatan mengenai makna dan cakupan dari Pengangkatan. Bukan ini maksud Tuhan. Dalam hubungannya dengan Pengangkatan, Allah ingin kita menghiibur “seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini.”

kapan Pengangkatan orang percaya akan terjadi?

Waktu Pengangkatan orang percaya dalam hubungannya dengan Tribulasi (kesengsaraan) adalah salah satu isu paling kontroversial dalam gereja saat ini. Tiga pandangan utama adalah: Pratribulasi (Pengangkatan orang percaya terjadi sebelum Tribulasi), Midtribulasi (Pengangkatan orang percaya terjadi di tengah-tengah Tribulasi), dan Pascatribulasi (Pengangkatan orang percaya terjadi pada akhir dari Tribulasi). Pandangan ke empat, yang lazimnya dikenal sebagai Pra-Murka adalah posisi Midtribulasi yang dimodifikasi sedikit.

Pertama, adalah penting untuk mengenali tujuan dari Tribulasi. Menurut Daniel 9:27 ada tujuh “masa” (7 tahun) yang masih akan datang. Keseluruhan nubuat Daniel mengenai tujuh puluh masa (Daniel 9:20-27) berbicara mengenai bangsa Israel. Ini adalah masa di mana Tuhan memusatkan perhatianNya secara khusus pada Israel. Walaupun ini tidak merupakan indikasi bahwa gereja tidak lagi ada, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai mengapa gereja masih perlu ada di atas bumi pada waktu itu.

Ayat Alkitab yang utama mengenai Pengangkatan orang percaya adalah 1 Tesalonika 4:13-18. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang percaya, bersama dengan orang-orang percaya yang telah meninggal, akan bertemu dengan Tuhan di angkasa dan akan bersama-sama dengan Dia selama-lamanya. Pengangkatan orang percaya adalah Tuhan memindahkan umatNya dari bumi ini. Dalam 5:9 Paulus mengatakan, “Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Tesalonika 5:9). Kitab Wahyu yang secara utama berbicara mengenai masa Tribulasi adalah berita nubuatan mengenai bagaimana Tuhan akan mencurahkan murkaNya atas bumi ini pada saat Tribulasi. Adalah tidak konsisten untuk Tuhan menjanjikan orang-orang percaya bahwa mereka tidak akan mengalami murka Tuhan namun membiarkan mereka di bumi pada masa Tribulasi. Fakta bahwa Allah berjanji melepaskan orang-orang Kristen dari murkaNya tidak lama setelah berjanji untuk menyingkirkan umatNya dari bumi ini nampaknya menghubungkan kedua peristiwa ini. 

Bagian Alkitab lain yang krusial mengenai waktu dari Pengangkatan orang percaya adalah Wahyu 3:10. Di sana Kristus berjanji melepaskan orang-orang percaya dari “hari pencobaan” yang akan datang atas seluruh dunia. Ini dapat berarti dua hal: (1) Kristus akan melindungi orang-orang percaya di tengah pencobaan, atau (2) Tuhan akan membebaskan orang-orang percaya dari pencobaan. Keduanya adalah arti yang sah dari kata dalam Bahasa Yunani yang diterjemahkan “dari.” Ini bukan hanya pencobaan, namun “hari” pencobaan. Kristus berjanji untuk memelihara orang-orang percaya dari masa pencobaan, yaitu Tribulasi. Tujuan dari Tribulasi, tujuan dari Pengangkatan orang percaya, arti dari 1 Tesalonika 5:9, dan penafsiran Wahyu 3:10 semua memberi dukungan jelas pada pandangan Pratribulasi. Jikalau Alkitab ditafsirkan secara harafiah dan konsisten, pandangan Pratribulasi adalah pandangan yang paling konsisten dengan Alkitab.

Apa itu Kedatangan Kristus yang Kedua Kalinya?

Kedatangan Kristus yang Kedua Kalinya adalah pengharapan dari orang-orang percaya bahwa Tuhan mengontrol segala sesuatunya dan setia pada janji-janji dan nubuatan dalam FirmanNya. Pada kedatanganNya yang pertama, Yesus Kristus datang ke dunia ini sebagai seorang bayi di palungan di Betlehem, sebagaimana dinubuatkan. Yesus memenuhi banyak nubuat mengenai Mesias dalam kelahiran, hidup, pelayanan, kematian dan kebangkitanNya. Namun ada beberapa nubuat mengenai Mesias yang Yesus belum genapi. Kedatangan Kristus Kedua Kali akan merupakan kembalinya Kristus untuk memenuhi semua nubuat yang masih tersisa ini. Pada kedatanganNya yang pertama kali, Yesus datang dalam keadaan yang sangat sederhana. Pada kedatanganNya yang kedua kalinya, Yesus akan datang dengan bala tentara Surga mengiringi Dia.

Para nabi Perjanjian Lama tidak membedakan kedua kedatangan ini. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat seperti Yesaya 7:14; 9:6-7 dan Zakharia 14:4. Akibat dari nubuat yang sepertinya berbicara mengenai dua individu banyak sarjana Yahudi yang percaya bahwa akan ada Mesias yang menderita dan Mesias yang menang. Apa yang mereka tidak pahami adalah bahwa Mesias yang sama akan memenuhi kedua peranan ini. Yesus menggenapi peran dari hamba yang menderita (Yesaya 53) pada kedatanganNya yang pertama. Yesus akan menggenapi peran sebagai Pembebas dan Raja Israel pada kedatanganNya yang kedua. Zakharia 12:10 dan Wahyu 1:7 menggambarkan Kedatangan yang Kedua Kali, mengenang kembali saat Yesus ditikam. Israel, dan seluruh dunia, akan meratap karena tidak menerima Mesias saat Dia datang untuk pertama kalinya.

Setelah Yesus naik ke Surga, para malaikat memberitahukan para rasul, "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga." (Kisah 1:11). Zakharia 14:4 mengidentifikasikan tempat Kedatangan yang Kedua Kalinya sebagai Bukit Zaitun. Matius 24:30 menyatakan, “Pada waktu itu akan tampak tanda Anak Manusia di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.” Titus 2:13 menggambarkan Kedatangan yang Kedua Kalinya sebagai “pernyataan kemuliaan.”

Kedatangan yang Kedua Kali dibicarakan dengan terperinci dalam Wahyu 19:11-16, “ Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: "Yang Setia dan Yang Benar", Ia menghakimi dan berperang dengan adil. Dan mata-Nya bagaikan nyala api dan di atas kepala-Nya terdapat banyak mahkota dan pada-Nya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui seorangpun, kecuali Ia sendiri. Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: "Firman Allah." Dan semua pasukan yang di sorga mengikuti Dia; mereka menunggang kuda putih dan memakai lenan halus yang putih bersih. Dan dari mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam yang akan memukul segala bangsa. Dan Ia akan menggembalakan mereka dengan gada besi dan Ia akan memeras anggur dalam kilangan anggur, yaitu kegeraman murka Allah, Yang Mahakuasa. Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: "RAJA SEGALA RAJA DAN TUAN DI ATAS SEGALA TUAN"” (Wahyu 19:11-16)

Apa itu Apocalypse ?

Kata “apocalypse” berasal dari kata Yunani “apocalupsis” yang berarti “membuka, menyingkapkan, menyingkirkan tutup.” Kitab Wahyu sering kali disebut sebagai “Wahyu Yohanes” karena Allah mengungkapkan zaman akhir kepada Rasul Yohanes. Selanjutnya, kata Yunani untuk apocalypse adalah kata pertama dalam naskah Yunani dari kitab Wahyu. Frasa “literatur apokaliptik” digunakan untuk menggambarkan penggunaan simbol-simbol, gambar-gambar, dan bilangan-bilangan untuk menguraikan kejadian di masa yang akan datang. Di luar kitab Wahyu, contoh dari literatur apokaliptik dalam Alkitab adalah Daniel 7-12, Yesaya 24-27, Yehezkiel 37-41, dan Zakharia 9-12.

Mengapa literatur apokaliptik ditulis dengan simbolisme dan kiasan semacam ini? Kitab-kitab apokaliptik ditulis ketika adalah lebih bijak untuk menyamarkan berita yang disampaikan dalam bentuk gambar dan simbol daripada menyampaikannya dalam bahasa sederhana/jelas. Lagipula, simbolisme menciptakan unsur misteri mengenai waktu dan tempat yang terinci. Namun demikian, tujuan dari simbolisme bukan untuk menciptakan kebingungan, namun untuk mengajar dan mendorong para pengikut Allah di zaman yang sukar.

Selain dari makna Akitabiah yang khusus, istilah “kiamat (apocalypse)” sering digunakan untuk merujuk pada zaman akhir secara umum, atau khususnya pada bagian akhir dari zaman akhir. Kejadian-kejadian zaman akhir seperti Kedatangan Kristus yang Kedua Kali dan Peperangan Harmagedon sering disebut sebagai kiamat (apocalypse). Kiamat (apocalypse) akan merupakan pengungkapan paling akhir dari Allah, murkaNya, keadilanNya, dan yang paling penting adalah kasihNya. Yesus Kristus adalah “pengungkapan” Allah yang terutama karena Dia mengungkapkan Allah kepada kita (Yohanes 14:9; Ibrani 1:2).

Apa tanda-tanda akhir zaman?

Jawaban atas Pertanyaan Apa tanda-tanda Akhir Zaman ialah :

Matius 24:5-8 memberi kita beberapa petunjuk penting sehingga kita dapat memahami mendekatnya akhir zaman. “Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang. Kamu akan mendengar deru perang atau kabar-kabar tentang perang. Namun berawas-awaslah jangan kamu gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya. Sebab bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan. Akan ada kelaparan dan gempa bumi di berbagai tempat. Akan tetapi semuanya itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru.” Bertambahnya mesias-mesias palsu, bertambahnya peperangan, bertambahnya kelaparan, penyakit dan bencana-bencana alam – semua ini adalah “tanda-tanda” akhir zaman. Bahkan dalam ayat-ayat ini kita diberikan peringatan. Jangan sampai kita ditipu (Matius 24L4), karena peristiwa-peristiwa ini hanyalah permulaan dari sakit melahirkan (Matius 24:8), kesudahannya masih akan datang (Matius 24:6).

Banyak penafsir yang menunjuk pada setiap gempa bumi, setiap pergolakan politik, dan setiap serangan terhadap Israel sebagai tanda bahwa akhir zaman segera tiba. Walaupun peristiwa-peristiwa ini adalah tanda-tanda bahwa akhir zaman sementara mendekat, hal ini tidak berarti bahwa akhir zaman sudah tiba. Rasul Paulus mengingatkan bahwa “di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan” (1 Timotius 4:1). Hari-hari terakhir dilukiskan sebagai “masa yang sukar” karena meningkatnya kejahatan manusia dan orang-orang yang secara aktif “menolak kebenaran” (2 Timotius 3:1-9; lihat pula 2 Tesalonika 2:3).

Tanda-tanda lain yang mungkin antara lain adalah dibangunnya kembali tempat suci orang Yahudi di Yerusalem, meningkatnya permusuhan terhadap Israel dan perkembangan ke arah satu pemerintahan dunia. Tanda akhir zaman yang paling utama adalah negara Israel. Pada tahun 1948 Israel untuk pertama kalinya sejak tahun 70 A.D. diakui sebagai negara yang berdaulat. Tuhan sudah berjanji kepada Abraham bahwa keturunannya akan memiliki Kanaan sebagai “milik untuk selama-lamanya” (Kejadian 17:8), dan Yehezkiel menubuatkan kebangunan kembali Israel secara fisik dan rohani (Yehezkiel 37). Dari sudut pandang nubuat akhir zaman, adanya Israel sebagai bangsa di tanahnya sendiri adalah hal yang penting karena pentingnya Israel dalam eskatologi (Daniel 10:14; 11:41; Wahyu 11:8).

Dengan mengingat tanda-tanda ini, kita dapat bersikap bijak dalam hal pengharapan akhir zaman. Namun kita tidak boleh menafsirkan salah satu dari tanda-tanda ini sebagai indikasi jelas bahwa akhir zaman akan segera tiba. Tuhan telah memberi kita informasi yang cukup sehingga kita dapat mempersiapkan diri, namun tidak cukup untuk membuat kita menjadi sombong.

Rumah Ibadah, Mengapa selalu Bermasalah ?

Rasanya sulit dipahami akal sehat, di sebuah negara yang mengaku "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai raison d'être-nya, pembangunan rumah ibadah justru jadi masalah yang sangat pelik dan merepotkan banyak pihak. Begitu pelik dan merepotkan, sehingga banyak orang layak bertanya-tanya: Mengapa izin membangun rumah ibadah jauh lebih sulit diurus ketimbang membangun diskotek atau night club? Sebenarnya apa yang salah dengan rumah ibadah?
Celakanya tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan yang sederhana itu. Di balik persoalan yang tampaknya sepele-coba, apa sulitnya membangun sebuah tempat yang, kemudian, dipakai sebagai rumah ibadah, sesuatu yang jauh lebih mulia ketimbang tempat maksiat-justru terselip rajutan berbagai soal yang bagai benang kusut, mulai dari ketidakpahaman (dalam artian ignorance), pengalaman marjinalisasi yang menyakitkan, riwayat dendam dan permusuhan berabad-abad, sampai kepentingan dan kalkulasi politik maupun ekonomi sesaat.
Esai ini tidak berpretensi mau memberi penyelesaian-saya curiga, penyelesaian menyeluruh soal ini mungkin tidak akan pernah dapat dicapai. Begitu juga, esai ini tidak punya pretensi menyibak rajutan benang kusut yang melatari kompleksitas persoalan rumah ibadah. Dibutuhkan penelitian menyeluruh yang jangkauannya di luar kemampuan esai ini-sekalipun, pada saat bersamaan, perlu dicatat persoalan rumah ibadah selayaknya dilihat kasus demi kasus dengan seluruh kompleksitasnya, dan tidak mudah terjebak ke dalam praktik serba gebyah-uyah yang sembrono.
Dua Rajutan
Apa yang mau diusulkan di sini adalah ancang-ancang awal untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh yang masih harus dikerjakan. Jelas, untuk itu dibutuhkan penyederhanaan. Saya akan mengambil dua rajutan sebagai pintu masuk untuk melihat kompleksitas itu. Pertama, pada tataran paguyuban keagamaan, soal ketidakpahaman (dalam artian ignorance tadi), dan miskinnya informasi dasar yang mencerminkan religious illiteracy akut dalam pendidikan keberagamaan. Padahal informasi sederhana ini bisa berakibat panjang.
Ambil contoh sehari-hari. Jarang orang paham bahwa karena latar formasi historisnya yang sangat kompleks, umat Kristiani membutuhkan gedung ibadah berbeda-beda guna menampung denominasi yang berbeda-beda pula. Seorang anggota gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), misalnya, tidak dapat begitu saja beribadah di gedung gereja GKJ (Gereja Kristen Jawa) atau gereja Pantekosta, apalagi di gereja Katolik, sekalipun gedung gereja itu dekat dengan lokasi rumahnya.
Ini punya implikasi penting: kalau data yang ada memperlihatkan bahwa gedung gereja terus bertambah (Depag pernah mengatakan angka pertambahan gedung gereja yang fantastis: lebih dari 100 persen!), maka gejala itu tidak secara otomatis berarti penambahan umat kristiani, sebagai akibat "kristenisasi" atau "pemurtadan" yang sangat menggelisahkan banyak orang.
Ketiadaan informasi sederhana yang akut itu menambah kompleks dan keruh persoalan rumah ibadah, malah memancing reaksi penyikapan dan tindakan yang ekstrem. Masalahnya jadi begitu kompleks ketika diletakkan pada konteks rajutan.
Kedua, perasaan terpinggirkan (atau dipinggirkan?). Saya selalu ingat cerita seorang teman, aktivis Muslim modernis, ketika ia pertama kali tiba di Jakarta tahun 1960-an. Di jalan-jalan besar yang ditemuinya hanyalah bangunan gedung gereja megah, sementara masjid dan surau terletak di gang-gang sempit, becek, dan bau. Ia mengaku jujur pada saya, waktu itu dalam hati ia mengumpat,
Syukurlah, teman saya hanya mengumpat dalam hati. Kini dia malah dikenal sebagai salah satu tokoh penggiat pluralisme yang tidak kunjung lelah berusaha membangun jembatan saling pengertian antarkelompok. Tetapi, sekalipun lingkungannya sudah jauh berubah, di balik cerita sederhananya itu bisa menjadi warisan kecurigaan yang menjadi subkultur relasi Islam-Kristen sampai sekarang. Rezim Orba, yang dibangun di atas marjinalisasi umat Islam, setidaknya sampai 1990-an, telah menanamkan akar kecurigaan antarkelompok yang sangat dalam dan akan terus menjadi mambang dalam setiap relasi antar umat beragama. Ditambah dengan religious illiteracy yang sudah disinggung di atas, maka persoalan pembangunan rumah ibadah menampilkan kisi- kisinya yang sangat kompleks.
Kini jadi jelas, persoalan pembangunan rumah ibadah tidak dapat dibahasakan melulu dalam bahasa universal HAM, maupun jaminan konstitusional dan kemauan politik pemerintah. Bukan saja karena bahasa HAM maupun jaminan konstitusional itu belum menjadi legally binding products yang dapat diterapkan secara konkret, tetapi juga karena persoalan itu mencerminkan pergulatan sosio-historis yang ranahnya melangkaui urusan legalitas semata. Kontroversi diskursus Peraturan Bersama Menag-Mendagri (selanjutnya: PBM) No 9/2006 dan 8/2006 memperlihatkan soal itu dengan gambling).
 

Politik Perukunan
Pertama-tama perlu dikatakan bahwa PBM bukan sekadar revisi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag-Mendagri No 01/BER/ mdn-mag/1969 yang telah menuai banyak kontroversi, tetapi kebijakan yang sama sekali baru dan melangkaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat Menteri. Memang PBM-berbeda dengan SKB yang semena-mena diputuskan-digodok bersama institusi-institusi keagamaan dalam negosiasi yang alot. Begitu juga, dibanding SKB, PBM memberi ketegasan soal syarat-syarat (psl 13 dan 14) untuk mengurus ijin mendirikan rumah ibadah serta tenggat waktu yang lebih jelas: paling lama 90 hari setelah permohonan diajukan, kepastian ijin sudah harus diberikan (psl 16:2). Masalahnya, PBM tidak mencantumkan sanksi apa yang akan diberikan jika ketentuan ini dilanggar.
Tetapi, yang jauh lebih problematis, PBM menciptakan mekanisme dan forum yang nantinya akan memegang peranan sentral: Fo- rum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)-sesuatu yang melampaui kewenangannya sebagai peraturan setingkat menteri! Forum ini nantinya akan menjadi mekanisme satu-satunya untuk menata, mengatur, dan mengendalikan relasi antarumat beragama, dan menjadi pemegang monopoli rekomendasi ijin pembangunan rumah ibadah.
Sangat kuat dugaan bahwa FKUB akan menjadi ujung tombak dari apa yang saya sebut sebagai "politik perukunan", proyek paling ambisius Depag di masa Orde Baru, di mana kerukunan tidak dilihat sebagai hasil praktik perjumpaan sehari-hari dalam masyarakat majemuk, melainkan sebagai sesuatu yang perlu diatur, diawasi, dan dikendalikan oleh tangan-tangan kekuasaan.
Asumsinya, masyarakat sendiri-termasuk di dalamnya institusi-institusi keagamaan!-tidak mampu menjaga kerukunan, sehingga dibutuhkan tangan-tangan Negara. Asumsi inilah yang dulu, pada tahun 2003, dijadikan landasan Depag mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang penuh kontroversi. PBM, dengan penciptaan FKUB-nya, adalah "anak tidak sah" RUU KUB tersebut.
Masih terlalu pagi untuk menilai seberapa efektifkah PBM dan FKUB. Tetapi dengan melihat watak dasar "politik perukunan" yang menjadi paradigmanya, dan dengan religious illiteracy serta warisan serba-curiga yang menandai relasi antar-pemeluk agama selama ini, saya khawatir FKUB akan mudah dijadikan ajang kontestasi untuk mempertahankan supremasi mayoritas di suatu wilayah-sembari menafikan kelompok-kelompok minoritas di wilayah tersebut. Apalagi sebagai pemegang monopoli rekomendasi izin pendirian rumah ibadah, FKUB juga rentan menjadi sarang korupsi.
Jadi, menurut saya, sudah tiba waktunya institusi-institusi keagamaan memainkan peran lebih besar dengan secara kritis mengawasi sepak terjang FKUB. Wadah ini, sungguh, akan sangat menentukan wajah relasi antar umat beragama di masa mendatang dan, pada gilirannya, menentukan apakah Indonesia memang masih menjadi "rumah bersama" bagi setiap kelompok.
**Penulis adalah koordinator program MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), Jakarta
Sumber: Suara Pembaruan

Ketika Tuhan-Agama Tak Berdinding

Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat—yang merupakan revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969—telah ditandatangani.


Selanjutnya, surat yang lebih dikenal sebagai sumber polemik ihwal pendirian rumah ibadat—termasuk yang memicu pelarangan ibadat—itu akan melalui tahap implementasi di lapangan.
Seperti sudah diduga sebelumnya, reaksi yang terjadi adalah beberapa rumah yang dijadikan tempat ibadah ditutup oleh warga. Penutupan lebih karena tidak dipenuhinya persyaratan sesuai SPB.
Secara tidak langsung tersirat bahwa terpenuhinya syarat sesuai SPB lebih tinggi nilainya daripada ibadat itu sendiri. Substansi ibadat kepada Tuhan mengalami degradasi, tidak lebih penting dari persyaratan pendirian rumah ibadat.

Transformasi Ibadat

Terlepas dari perdebatan soal perlu tidaknya izin pendirian rumah ibadat (dalam praktiknya mencakup pula izin beribadat), sisi positif kasus ini membuka mata perihal keberagamaan baru. Baru di sini bukan berarti pertama kali ada, tetapi baru dalam arti pemeluk agama disadarkan akan ketidakterbatasan Tuhan yang menjadi tujuan ibadat, yang mestinya juga terbawa dalam ketidakterbatasan cara beribadat kepada-Nya.

Mereka yang menentang SPB sebagai revisi SKB mengatakan bahwa ibadat tidak perlu memakai izin. Setiap pemeluk agama berhak untuk membangun rumah ibadat dan melaksanakan ibadat sesuai keyakinannya, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Di satu sisi pernyataan ini benar dan berupaya meletakkan ideal beragama di tengah masyarakat plural. Namun di sisi lain juga menjadi absurd karena dengan menolak syarat izin pendirian rumah ibadat yang sudah ditetapkan pemerintah, justru telah mengingkari sifat ketidakterbatasan Tuhan—yang berizin atau tidak, memenuhi syarat atau tidak—tidak terpengaruh olehnya. Ketidakterbatasan Tuhan mestinya akan membuka peluang cara beribadat baru kepada-Nya.

Bahwa sekalipun ibadat harus mempunyai izin dengan tanda tangan ber-KTP dari jemaah sebanyak 90 orang dan dari masyarakat sekitar 60 tanda tangan sesuai syarat SPB, menjadi absurd jika disandingkan dengan sifat ke-Maha-an Tuhan tadi. Izin memang bisa menghambat pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat dengan cara dan kebiasaan yang sudah berjalan. Tapi peraturan yang dirasakan membatasi itu mestinya justru membuka cara beribadat baru yang tak habis-habisnya, sesuai sifat-Nya yang Maha Tak Terbatas.

Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat terhambat soal izin di atas. Yang terhambat hanya pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan ibadat sebagai kebiasaan selama ini, namun tetap tak terbatas dalam cara beribadat baru, yang bebas dari ’terkondisikan’ untuk meminta izin seperti disyaratkan.


Tuhan, rumah ibadat dan cara beribadat kepada-Nya bebas dari aturan politik dan legitimasi sosial. Itu semua bukan soal perlu atau tidak perlu izin, tetapi memang substansinya tidak mengenal izin karena sifatnya yang transenden, rohaniah, bahkan imaniah yang undang-undang pun tak bisa menjangkaunya.

Dengan membuka wawasan dan kesadaran baru tentang sifat kemahaan Tuhan, setiap upaya manusia untuk membatasi pendirian rumah ibadat (yang notabene diyakini juga rumah untuk bertemu dengan Tuhan, bahkan "Rumah Tuhan") hanya menjadi penghambat kecil, bahkan akan tergerus oleh sifat Maha Tak Terbatas. SPB tidak lagi dipandang sebagai hambatan karena Tuhan akan membuka cara beribadat yang baru dan kreatif. Sebuah transformasi ibadat.


"Tuhan Tanpa Rumah"
Pascapenandatanganan SPB yang bisa dilakukan ialah membuka seluas mungkin cara beragama baru yang tidak terbentur pada soal izin mendirikan rumah ibadat. Dengan kata lain, upaya matematikanisasi kegiatan spiritual—dengan syarat 90 jemaat ber-KTP dan 60 orang lingkungan sekitar sebagai ’baptis politik’ pemerintah dan ’baptis sosial’ warga sekitar—agar ibadat aman dan sah, perlu disikapi dengan membuka pintu teologi baru atas pendirian ’rumah Tuhan’ dan rutinitas beribadat kepada-Nya.

Sebetulnya tidak ada yang hilang, sekalipun rumah ibadat tidak boleh didirikan atau bahkan yang sudah berjalan ditutup. Meski rumah ibadat diidentikkan sebagai ’rumah Tuhan’, penutupan rumah ibadat tidak berarti ’Tuhan kehilangan rumah’. Justru sebaliknya, pendirian rumah ibadat termasuk pelarangan dan penutupan hanya karena tidak memenuhi syarat sehingga tak berizin, mengingatkan kembali tentang substansi ’Tuhan tanpa rumah’.

Meminjam terminologi Kristen, di mana Anak Manusia (baca: Tuhan) tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya. Jangankan rumah ibadat, rumah-Nya, bantal saja tak punya. Teologi ’Tuhan tanpa rumah’ ini justru membebaskan agama dan umat untuk mencari cara ibadat yang tak terbatasi oleh bangunan dan ritual-ritualnya.

Rumah ibadat adalah seluruh alam semesta, yakni di mana saja dan ritual-ritual peribadatan langsung terefleksikan pada keseharian hidup umat beragama dari hati, pikiran ke perilaku sebagai jantung dan etalase ibadat itu sendiri. Selama ini telah terjadi institusionalisasi ibadat, bahwa ibadat hanya dalam rumah ibadat saja, di luar itu dianggap belum atau tidak melakukan ibadat.


Agama tanpa tembok

Dalam konteks agama, matematikanisasi izin pendirian dan kegiatan peribadatan di dalamnya, justru membuka peluang lahirnya agama tanpa tembok (religion without wall) sebagai konsekuensi teologi ’Tuhan tanpa rumah’. Hal mana sejalan dengan prinsip-prinsip universal agama bahwa agama bukan sekadar ditandai dengan bangunan fisik atau ritual ibadat. Tetapi agama adalah organisme hidup, kumpulan mereka yang percaya kepada yang transenden. Primary concern agama dalam hal ini ialah manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dan bukan semata tempat ibadat dan simbol-simbol keagamaan.

Dakwah agama dengan demikian juga tidak terbatas pada komunitas jemaah lokal (at stated times), tetapi dengan terbebas dari sindrom pendirian rumah ibadat, agama justru dibukakan ladang dakwah baru di mana saja. Sikap agama terhadap SPB yang mensyaratkan pendirian rumah ibadat dengan demikian seharusnya disikapi kebalikannya, yakni dengan menerima tanpa syarat (unconditional acceptance).

Agama tanpa tembok dengan demikian menjadi visi dan cara baru beribadat. Ia lebih mendorong praktik agama yang lebih inklusif dibanding sebelumnya yang tetap mempertahankan etalase rumah ibadat, simbol dan ritual yang eksklusif.

Inilah pokok terpenting dari polemik SPB. Tidak perlu dikhawatirkan bahwa SPB akan melarang hak beribadah seseorang. Meski fenomena rumah ibadat ditutup dengan alasan tidak memenuhi persyaratan SPB, hal ini justru menjadi batu penguji tingkat keberagamaan seseorang.

Kita tahu bahwa memeluknya seseorang kepada suatu agama lebih karena panggilan yang bersifat transenden yang diyakininya, bahwa dengan percaya kepada agamanya inilah ia menjadi orang yang beruntung dan diselamatkan. Ini berarti memeluk agama membutuhkan a Call (sebuah panggilan). Dengan tidak adanya tempat ibadat, keberagamaan seseorang justru dikondisikan untuk mendahulukan a Call-nya (panggilan kepada agamanya) daripada sekadar tersedianya a Wall (tembok rumah ibadat).

Sisi positif SPB ialah kemungkinannya melahirkan pola keberagamaan baru yang kuat karena penekanan pada a Call dan bukan sekadar a Wall. Panggilan agama yang tertoreh di relung hati yang paling dalam yang memancar pada kehidupan sehari-hari dan bukan sekadar pergi ke rumah ibadat dengan mengusung simbol agama dan ritualismenya yang rentan.

Stevanus Subagijo Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Sumber: Kompas